🐖 Api Di Bukit Menoreh 290

Seri Api Di Bukit Menoreh. Halaman: 100 Halaman. Agung Sedayu digambarkan sebagai seorang pemuda yang sangat penakut, bukannya pengecut. Karena bahkan melewati sebuah pohon raksasa di malam haripun dia tidak berani. Karena terlalu dimanjakan ibunya, Sedayu berubah menjadi penakut, apalagi dia selalu berlindung di bawah Beliseri api di bukit menoreh III jilid 11 sampai 20 di Dani Books. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. hoodie wanita ipad BeliApi Di Bukit Menoreh Online terdekat di Jawa Timur berkualitas dengan harga murah terbaru 2021 di Tokopedia! Pembayaran mudah, pengiriman cepat & bisa cicil 0% Api Di Bukit Menoreh Kota Jawa Timur; Filter. Kategori. Buku. Novel & Sastra. Komik. Sosial Politik. Lainnya. Fashion Pria. Atasan Pria. Lokasi. DKI Jakarta. Jabodetabek. TerusanApi Di Bukit Menoreh Historical Fiction. Lanjutan Api Di Bukit Menoreh #fiksisejarah. Terusan ADBM Jilid 409 8.1K 48 0. oleh AbdulQadir2016. oleh AbdulQadir2016 Ikuti. Bagikan. Post to Your Profile Share via Email Apidi Bukit Menoreh (3), halaman 1/54 Api di Bukit Menoreh Seri 3 S.H. Mintardja “Nah, katakan, siapa engkau?” ulang Widura. Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu. Danitu dapat berarti isyarat bu ruk bagi penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menarik kembali apa yang telah terjadi di Tan ah Perdikan itu. Orang-orang yang diduga para pengikut Resi Belahan itu telah berad a di Tanah Perdikan Menoreh, dan di Kademangan Kleringan. Nampaknya mereka ingin membuat perhitungan sampai APIDI BUKIT MENOREH 2. Seperti yang terdahulu, saya ketengahkan ceritera ini dengan harapan yang sama. Ceritera yang dicari dibumi sendiri bertolak pada sifat manusia, dengki, iri, nafsu, cita2 namun juga cinta Yang melahirkan segala macam peristiwa, pertentangan, pertengkaran, perang, tetapi juga tuntutan keadilan dan kebenaran. Penulis 387 -Api-di-Bukit-Menoreh. by isra khoiri Nasution. Download Free PDF Download PDF Download Free PDF View PDF. Keris Kyai Setan Kober. by PustakaDongeng Nusantara Menghadirkan cerita Api Di Bukit Menoreh 2 karya S.H. Mintardja, Cerita Api Di Bukit Menoreh 2 ini kelanjutan dari Cerita Api Di B oyJPM2L. ♦ 15 Juli 2010 Agung Sedayu tidak dapat segera melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan pasukan Pati. Namun menurut pendapat Agung Sedayu, induk pasukan Pati di bawah pimpinan langsung Kanjeng Adipati Pati telah berada di sebuah padukuhan yang cukup besar tetapi kosong. Para penghuninya yang sejak semula telah mengungsi, masih belum kembali ke padukuhan mereka. “Apakah Kanjeng Adipati Pati benar-benar terlepas dari tangan prajurit Mataram?“ bertanya seorang prajurit yang menyertai Agung Sedayu. “Agaknya demikian. Ketika kita berangkat dari benteng perkemahan, Kanjeng Adipati tidak dijumpai di antara mereka yang tertawan. Tetapi melihat besarnya pasukan yang berhasil meloloskan diri, maka Kanjeng Adipati tentu ada di antara mereka.” Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Beberapa puluh patok di hadapan mereka, kelompok demi kelompok pasukan Pati berdatangan. Di padukuhan itu agaknya mereka ingin menyusun kekuatan mereka kembali. Malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Agung Sedayu masih tetap berada di tempatnya, untuk melihat apa yang terjadi dengan para prajurit Pati itu. Dari kejauhan Agung Sedayu melihat cahaya api yang menerangi dedaunan yang mencuat melampaui tingginya dinding padukuhan itu. Dengan demikian maka Agung Sedayu dapat menduga bahwa para prajurit Pati itu telah memasang oncor-oncor di beberapa tempat di padukuhan itu. “Perapian,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. “Mungkin sekali,“ jawab prajuritnya, “pasukan itu tentu letih dan lapar.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Pasukan kecilnya juga letih dan lapar. Tetapi Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang dari para prajuritnya untuk mengusahakan pangan bagi pasukan kecil itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membawa dua orang prjurit yang telah dipilihnya dari antara prajurit dari Pasukan Khusus itu, untuk mendekati perkemahan para prajurit Pati. Dengan sangat berhati-hati, mereka merayap mendekat. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa para prajurit Pati itu tentu juga meletakkan beberapa orang pengawas di luar padukuhan itu. Namun Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya itu berhasil mendekati dinding padukuhan. Bahkan kemudian bertiga telah meloncat masuk dengan sangat berhati-hati. Ternyata seperti yang mereka duga, para prajurit Pati itu memang telah menyalakan beberapa buah oncor di belakang gerbang padukuhan dan di beberapa regol halaman rumah. Namun yang menarik perhatian Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya adalah, bahwa para prajurit Pati itu telah membuat sebuah dapur yang cukup besar untuk menyediakan makan bagi prajurit-prajurit yang lapar itu. “Ternyata padukuhan ini memang disiapkan untuk menampung pasukan Pati jika mereka bergerak mundur,“ desis Agung Sedayu. “Agaknya pasukan Pati mundur lewat jalur yang mereka lewati ketika mereka berangkat ke Prambanan,“ desis seorang prajuritnya, “ternyata di padukuhan ini telah tersedia bahan pangan bagi mereka.” “Ada dua kemungkinan,“ sahut Agung Sedayu, “padukuhan ini memang merupakan lumbung persediaan bahan makanan bagi pasukan Pati.” “Tetapi padukuhan ini bukan Ngaru-Aru. Bukankah Ngaru-Aru sudah dihancurkan?” “Menurut yang aku dengar, lumbung pangan di Ngaru-Aru memang sudah dihancurkan. Tetapi justru karena itu, maka Pati telah mempersiapkan lumbung yang lain, yang semula hanya merupakan tempat pemberhentian arus bahan pangan itu,“ berkata Agung Sedayu pula. “Nampaknya Pati memang tidak yakin bahwa mereka akan berhasil menembus sampai ke Mataram. Ternyata mereka telah mempersiapkan landasan pertahanan jika mereka terpaksa mundur.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng, “Bukan karena ketidak-yakinan itu. Sudah aku katakan, padukuhan ini dapat saja merupakan lumbung bahan pangan darurat setelah Ngaru-Aru dihancurkan, dengan persediaan pangan seadanya. Tetapi seandainya tempat ini merupakan landasan pertahanan kedua pun agaknya memang wajar sekali. Setiap persiapan bagi perang yang besar, tentu disiapkan pula landasan pertahanan kedua. Bahkan ketiga, sebagai landasan untuk memukul mundur lawan yang mungkin mengejarnya. Setidak-tidaknya untuk mengurangi keadaaan yang lebih parah lagi bagi pasukan yang bergerak mundur.” Kedua orang prajurit Agung Sedayu itu mengangguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka masih melihat kelompok-kelompok prajurit Pati yang datang dalam keadaan letih. Ada di antara kelompok-kelompok itu yang membawa kawan-kawan mereka yang luka, dan bahkan parah. Agung Sedayu memperhatikan pasukan yang semakin banyak berkumpul itu dengan saksama. Namun dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa pasukan Pati memang dalam keadaan parah. Jika Kanjeng Adipati tidak segera memerintahkan pasukannya menarik diri dari benteng perkemahan itu, maka keadaaannya tentu akan menjadi semakin buruk. Bahkan mungkin buruk pula bagi Kanjeng Adipati sendiri. Namun agaknya para prajurit Pati tidak terlalu lama berada di tempat itu. Setelah beristirahat, makan dan minum secukupnya, terdengar isyarat yang memanggil semua pemimpin kesatuan untuk berkumpul. Meskipun Agung Sedayu tidak dapat menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan itu, tetapi Agung Sedayu dapat menduga bahwa para pemimpin Pati itu sedang membicarakan langkah-langkah yang akan diambil. Sebenarnyalah, Kanjeng Adpati Pati sendiri telah memimpin pertemuan itu. Selain mendengarkan laporan para pemimpin kesatuan di dalam pasukan Pati yang besar itu, Kanjeng Adipati juga memberikan perintah-perintah kepada mereka. Dari para Senapati, Kanjeng Adipati Pragola mendengar bahwa keadaan pasukannya memang parah. Sebagian dari para prajurit masih belum sampai ke tempat itu. Mungkin mereka kehilangan arah, tersesat atau bahkan tertangkap oleh pasukan Mataram. Tetapi Kanjeng Adipati tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka pasukannya harus segera meninggalkan tempat itu sebelum dini hari. “Kita tidak tahu apakah pasukan Mataram itu memburu kita atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi kita untuk bertahan,“ berkata Kanjeng Adipati Pragola. Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati Pragola memang harus menarik pasukannya ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Demikianlah, Agung Sedayu menyaksikan pasukan yang masih terhitung besar tetapi dalam keadaan luka itu, bergerak lagi menuju ke utara. Agung Sedayu menyaksikan iring-iringan pasukan yang letih itu bergerak perlahan-lahan di dini hari. Sementara itu, dengan cepat pula para petugas yang menyiapkan makan dan minum mereka mengemasi alat-alat yang ada. Namun alat-alat itu segera disimpan di dalam sebuah rumah yang terhitung besar. Mereka tidak lagi menghiraukan sisa bahan pangan yang masih ada. Tidak seorang pun tinggal di padukuhan itu. Jika agaknya sebelumnya ada sekelompok petugas yang ada di padukuhan itu, maka mereka telah hanyut pula dalam iring-iringan pasukan yang menarik diri itu. Sepeninggal prajurit Pati itu, Agung Sedayu sempat melihat-lihat keadaan di padukuhan itu. Masih ada sisa bahan makanan di padukuhan itu. Masih tertinggal alat-alat dapur dan perlengkapan lainnya. Bahkan masih ada setumpuk senjata di sebuah rumah yang juga terhitung besar. Agaknya setelah Ngaru-Aru, maka padukuhan ini menjadi landasan dan penyimpanan persediaan bahan pangan. Namun Agung Sedayu harus segera menyembunyikan diri, ketika kemudian datang lagi sekelompok kecil prajurit Pati. Orang-orang yang dengan lemah memasuki padukuhan itu. Namun mereka menjadi kecewa bahwa mereka sudah tidak menemukan kawan-kawan mereka lagi. Dari bekas-bekas yang mereka lihat serta beberapa oncor yang masih menyala, mereka mengetahui bahwa kawan-kawan mereka telah meninggalkan tempat itu beberapa saat sebelumnya. Namun mereka menjadi sedikit terhibur ketika mereka masih menemukan beberapa bakul nasi hangat. Meskipun mereka tidak menemukan lauk-pauk lagi, tetapi mereka masih mendapatkan sekuah sayur yang masih hangat. Orang-orang yang letih dan lapar itu pun telah makan dengan lahapnya. Mereka tidak lagi memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Mereka tidak lagi memperhitungkan kemungkinan hadirnya prajurit Mataram di tempat itu. “Kekuatan mereka kecil,“ desis prajurit pengawal Agung Sedayu, “pasukan kita dapat menghancurkan mereka.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Biarlah mereka tetap hidup. Jika kita menghancurkan mereka, akibat yang timbul tidak akan banyak pengaruhnya. Sementara itu kita telah menebas harapan yang telah tumbuh di hati mereka.” Kedua pengawal Agung Sedayu itu pun terdiam. Mereka sebenarnya sudah menduga, bahwa mereka akan mendengar jawaban seperti itu dari mulut Agung Sedayu. Kelompok kecil itu tidak terlalu lama berada di padukuhan itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah berangkat pula, meninggalkan nasi yang masih cukup banyak. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah membawa kedua orang prajurit pengawalnya kembali ke pasukan kecilnya. Ternyata tiga orang di antara mereka telah berhasil mendapatkan seonggok beras dari padukuhan yang sepi di sebelah. Nampaknya jalur yang cukup luas telah dikosongkan ketika pasukan Pati mulai bergerak ke tempat yang lebih aman. Menjelang fajar, Agung Sedayu telah membawa pasukannya untuk bergerak pula. Mereka harus yakin bahwa pasukan Pati yang mengundurkan diri itu benar-benar menarik pasukannya sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Jarak antara pasukan kecil yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan pasukan Pati memang agak jauh. Tetapi mereka tidak pernah kehilangan jejak. Agung Sedayu tahu pasti sampai dimana pasukan Pati itu bergerak. Agung Sedayu sendiri dengan kedua orang prajurit terpilihnya selalu berusaha mengamati langsung pasukan Pati itu. Ketika di malam hari pasukan Pati itu berhenti sejenak untuk beristirahat di tempat-tempat yang memang berada di jalur gerak pasukannya, Agung Sedayu selalu berusaha untuk mendekat. Demikianlah, Agung Sedayu baru akan menghentikan pengamatannya jika pasukan Pati itu telah benar-benar berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Kepada pasukan kecilnya Agung Sedayu memerintahkan untuk beristirahat satu hari, untuk meyakinkan bahwa pasukan Pati itu benar-benar bergerak terus ke utara. Sementara itu, Agung Sedayu mengijinkan prajurit-prajuritnya untuk berburu ke dalam hutan terdekat, sementara Agung Sedayu sendiri mengamati gerak pasukan Pati sehingga benar-benar hilang di utara Pegunungan, memasuki lembah yang luas, menyusuri jalan yang berkelok seperti ular yang merambat di antara hijaunya pepohonan. Baru kemudian Agung Sedayu berniat untuk membawa pasukan kecilnya itu kembali ke Prambanan. Jarak yang cukup panjang, sehingga perjalanan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu merupakan perjalanan yang berat, karena mereka tidak membawa bekal sama sekali. Agung Sedayu dan kedua orang prajurit pengawalnya yang baru kembali dari pengamatannya atas prajurit Pati yang bergerak ke utara terkejut, ketika ia melihat dua orang yang tidak dikenalnya berada didalam pasukan kecilnya. “Inilah Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin kelompok ini,“ berkata seorang prajurit yang diserahi pimpinan jika Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya memisahkan diri. Kedua orang itu bangkit dan dengan hormatnya mengangguk kepada Agung Sedayu. “Maaf, Ngger,“ berkata orang itu. Seorang tua yang berjanggut pendek keputih-putihan, “Aku datang tanpa mohon ijin lebih dahulu.” “Siapakah Ki Sanak berdua?” bertanya Agung Sedayu. “Kami penghuni padepokan Tlaga Kuning, Ngger,“ jawab orang berjanggut pendek itu, “orang memanggilku Kiai Tambak Gede.” “Apakah maksud Kiai datang ke tempat ini?” bertanya Agung Sedayu. “Ki Lurah,“ berkata orang itu, “kami ingin sekali mempersilahkan sekelompok pasukan kecil ini untuk singgah di padepokan kami. Kami ingin sekali mempersilahkan para prajurit yang gagah berani ini untuk sekedar beristirahat barang satu malam. Kami ingin memberikan satu penghormatan atas keberhasilan para prajurit ini melaksanakan tugas.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kiai Tambak Gede. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Kiai terhadap pasukan kami. Tetapi Kiai jangan menilai bahwa kami sudah berhasil melaksanakan tugas kami.” “Kenapa belum berhasil? Bukankah kalian bertugas mengikuti pasukan Pati yang mengundurkan diri sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng? Sekarang, pasukan Pati itu sudah berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Nah, bukankah dengan demikian berarti bahwa tugas kalian sudah berhasil?” “Kami tidak bertugas mengikuti pasukan Pati itu Kiai,“ jawab Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Jadi apakah tugas kalian?” “Kami bertugas untuk menemukan seseorang di jalur perjalanan pasukan Pati. Tetapi kami gagal, kelompok-kelompok prajurit Pati yang terlambat yang telah kami sergap dan kami hancurkan, tidak terdapat orang yang harus kami temukan. Mungkin orang itu justru sudah berada di induk pasukan bersama Kanjeng Adipati Pragola.” “Jika demikian, bukankah itu bukan kesalahan Ki Lurah?” bertanya Kiai Tambak Gede. “Memang bukan salahku, Kiai. Tetapi tugasku telah gagal. Karena itu, tidak pantas aku menerima undangan Kiai Tambak Gede.” “Jangan berpikir terlalu jauh, Ngger. Sekarang, sisihkan segala macam persoalan. Aku mengundang Angger dan prajurit-prajurit Angger untuk singgah di padepokanku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian,ia-pun menjawab, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi aku mohon maaf Kiai, bahwa aku tidak dapat memenuhi undangan Kiai. Bahkan kami mohon diri untuk kembali, menyerahkan diri untuk mendapatkan hukuman atas kegagalan kami.“ Para prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka tanggap, bahwa Agung Sedayu agaknya berkeberatan untuk singgah di padepokan Kiai Tambak Gede. Namun Kiai Tambak Gede itu pun berkata, “Ki Lurah, jangan terlalu tertekan karena tugas-tugas Ki Lurah. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Namun aku mohon, Ki Lurah sempat melupakan beban itu barang satu malam saja.” Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Sekali lagi aku mohon maaf. Kiai. Tetapi aku ingin datang pada satu kesempatan yang lain.” Orang berjanggut putih itu mengerutkan dahinya. Dari sorot matanya terpancar kekecewaan hatinya yang mendalam. Namun Agung Sedayu tidak dapat mengubah keputusannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kalanya dengan nada rendah, “Apaboleh buat. Jika Angger tidak bersedia singgah, maka apa yang telah kami lakukan tidak berarti sama sekali.” “Apa yang telah Kiai lakukan?“ bertanya Agung Sedayu. “Anak-anak, maksudku para cantrik, telah memotong tidak hanya seekor kambing. Tetapi beberapa ekor. Aku tidak tahu, untuk apa daging sebanyak itu.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah para cantrik di padepokan Kiai akan dapat menyelesaikannya?” “Tetapi yang membuat kami kecewa adalah bahwa pasukan Mataram ini tidak sempat singgah di padepokan kami. Adalah satu kebanggaan bagi kami, bahwa padepokan kami pernah menjadi tempat pasukan Mataram singgah.” “Sekali lagi aku minta maaf Kiai, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih,“ sahut Agung Sedayu. Beberapa orang prajurit yang mendengar pembicaraan itu sebenarnya memang menjadi kecewa. Jika mereka sempat singgah, maka mereka akan mendapat kesempatan beristirahat dengan tenang, sambil menikmati hidangan yang tentu lebih baik dari daging rusa yang mereka panggang di atas perapian, di padukuhan yang kosong. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengatakannya. Demikianlah, Kiai Tambak Gede dan seorang pengiringnya itu pun kemudian telah minta diri. Ia masih saja menyatakan kekecewaannya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak bersedia singgah barang sebentar di padepokan Kiai Tambak Gede. Demikian Kiai Tambak Gede meninggalkan mereka, Agung Sedayu segera memerintahkan pasukan kecilnya bersiap untuk kembali ke Prambanan. “Kita berangkat sekarang juga,“ berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia masih juga sempat bertanya, “Bagaimana mungkin kedua orang itu dapat menemukan kalian?” “Kami tidak tahu, Ki Lurah. Yang kami ketahui tiba-tiba saja keduanya telah menemui kami di sini, untuk menyatakan keinginannya agar kami bersedia singgah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku tidak senang bahwa ada orang yang tiba-tiba saja ada di antara kita.” Para prajuritnya dapat mengerti sikap Ki Lurah Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Orang yang menyebut dirinya Kiai Tambak Gede itu tahu benar apa yang sedang kita lakukan. Tentu bukan secara kebetulan atau sekedar dugaan. Tetapi orang itu tentu sudah mengamati gerak-gerak kita sebelumnya.” Prajurit yang diserahi memimpin pasukan kecil itu jika Agung Sedayu sedang mendekati gerak pasukan Pati dengan nada berat berkata, “Ya. Seharusnya kami menghindari pengamatan orang lain. Tetapi kami ternyata tidak menghindarkan diri dari pengamatan Kiai Tambak Gede.” “Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “kita berangkat sekarang. Secepatnya.” Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Mereka memang tidak membawa perlengkapan lain kecuali senjata mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, pasukan kecil itu mulai bergerak kembali ke Prambanan. Namun kecurigaan Agung Sedayu membuat pasukan itu menjadi sangat berhati-hati. Sementara itu, malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Udara yang dingin menyapu bulak-bulak panjang yang membentang di hadapan mereka. Tetapi Agung Sedayu yang berjalan di paling depan telah memberi isyarat kepada pasukan kecilnya itu untuk berhenti. “Berhati-hatilah,“ desis Agung Sedayu. “Ada apa Ki Lurah?“ bertanya seorang prajurit. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mulai mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu, untuk dapat melihat lebih jauh dan lebih tajam meskipun di gelapnya malam. “Aku melihat bayangan yang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang simpang empat itu.” Prajuritnya mengerutkan dahinya. Beberapa orang mencoba untuk mempertajam penglihatan mereka. Meskipun mata mereka cukup terlatih, tetapi mereka tidak segera dapat melihat sesuatu selain gelapnya malam. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Kita akan berjalan terus. Tetapi berhati-hatilah. Aku merasakan bahwa kita ada dalam bayangan niat buruk sekelompok orang. Mungkin mereka akan menyergap dengan tiba-tiba dari sebelah-menyebelah jalan. Bersiaplah dengan senjata kalian.” Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka harus memperhatikan hijaunya tanaman di sawah sebelah-menyebelah jalan, yang tumbuh dengan suburnya meskipun untuk beberapa lama tidak sempat dipelihara oleh pemiliknya, yang pergi mengungsi dari daerah jalur rawan yang mungkin dilewati pasukan dari Pati. Baru kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itu meyakini bahwa mereka benar-benar dalam bahaya. Mereka mulai melihat gerak-gerak yang mencurigakan di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lewati. Dengan demikian, maka para prajurit itu telah mempersiapkan senjata mereka. Senjata yang akan menjadi sangat berbahaya di tangan prajurit dari pasukan Khusus, yang telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus pula. Ketika Agung Sedayu yang berjalan di paling depan mendekati sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh di dekat simpang empat itu, ia berhenti sambil mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Para prajurit dari pasukan Khusus itu pun berhenti. Namun mereka tetap berhati-hati. Dengan senjata di tangan, mereka memperhatikan setiap gerakan di belakang tanaman yang tumbuh di kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan. Tiga orang muncul dari kegelapan di bawah bayangan pohon gayam yang besar dan berdaun lebat itu. Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut ketika ia melihat Kiai Tambak Gede dan dua orang pengiringnya melangkah mendekatinya sambil berkata, “Selamat malam Ki Lurah Agung Sedayu.” Para prajurit dari pasukan Khusus itulah yang merasa heran. Tetapi tidak terlalu lama. Mereka mulai dapat mengerti, apa yang sebenarnya mereka hadapi. “Untunglah bahwa Ki Lurah mempunyai panggraita yang tajam,“ berkata salah seorang prajurit kepada kawannya. “Ya. Jika tidak, kita akan terjebak. Lebih parah lagi, jika daging kambing yang disuguhkan kepada kita itu beracun. Maka mereka tidak usah dengan susah payah bertempur dan membantai kita di dalam jebakan mereka, karena kita akan mati dengan sendirinya karena racun itu.” Kawannya mengangguk-angguk. Sementara para prajurit yang lain pun bersyukur pula di dalam hati atas ketajaman panggraita Ki Lurah Agung Sedayu. Agung Sedayu berdiri tegak diapit oleh dua orang prajurit kepercayaannya. Dengan nada dalam ia menjawab, “Selamat malam Ki Tambak Gede.” “Kita bertemu lagi Ki Lurah.” “Begitu cepat kita bertemu lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Ki Lurah, aku masih ingin mengulangi undanganku.“ “Apakah aku masih harus menjawab lagi, Ki Tambak Gede ?” Agung Sedayu justru bertanya. “Jangan begitu kasar, Ngger. Sebaiknya kau paksa dirimu untuk mendengarkan kata-kataku.” “Ki Tambak Gede,“ berkata Agung Sedayu, “sudahlah. Sebaiknya Ki Tambak Gede dapat mengerti tugas yang aku emban. Aku harus segera kembali dan memberikan laporan atas kegagalanku. Jika aku akan mendapat hukuman, biarlah hukuman itu cepat aku jalani. Jika aku mendapatkan pengampunan, biarlah aku segera berlega hati.” “Ki Lurah,“ berkata Ki Tambak Gede, “jika kau tetap menolak, sudah tentu aku merasa tersinggung. Bukan saja aku pribadi, tetapi seluruh warga perguruan Tlaga Kuning akan merasa tersinggung. Perguruan kami adalah perguruan yang besar dan dihormati. Tetapi kau Ngger, hanya seorang Lurah Prajurit, berani menolak undanganku.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah Ki Tambak Gede. Jangan berbelit-belit. Katakan apa sebenarnya maksudmu. Aku sudah muak dengan kepura-puraanmu itu.” Wajah Ki Tambak Gede menjadi tegang. Namun kemudian tiba-tiba saja ia tertawa. Wajahnya yang mulai berkeriput itu segera berubah. Yang nampak di sorot matanya bukan lagi ungkapan hatinya yang kecewa, tetapi di matanya membayang kebencian yang mendalam. Dengan kasar Ki Tambak Gede itu pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan berterus terang. Aku adalah seorang pemimpin perguruan yang telah bersumpah untuk mengabdi kepada Kanjeng Adipati Pati. Tetapi aku terlambat sampai ke Pati. Ketika pasukan Pati mulai bergerak, aku tidak ada di perguruan. Meskipun aku sudah tahu bahwa pasukan Pati akan menyerang Mataram, tetapi aku kira tidak secepat yang dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola.” “Kenapa kau tidak menyusul ke Prambanan?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku memang berniat untuk menyusul. Tetapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom bergerak seperti burung alap-alap. Sementara aku bergerak dengan para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kami menemukan Ngaru-Aru sudah dihancurkan. Aku bertemu dengan sekelompok prajurit Pati yang terkoyak-koyak oleh sekelompok prajurit Mataram. Yang tersisa melarikan diri tanpa tujuan. Bahkan tidak tahu lagi, apa yang akan mereka lakukan. Mereka tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencari dan bergabung dengan induk pasukannya, karena mereka ngeri bertemu dengan sekelompok prajurit Mataram yang bagaikan terbang menyambar-nyambar dan bahkan seakan-akan berada di segala tempat.” “Karena itu Ki Tambak Gede, mengurungkan niat untuk menyusul sampai ke Prambanan?” “Aku merasa bahwa pasukanku yang kecil tidak akan berpengaruh sama sekali.” “Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu. “Aku tahu bahwa pasukanmu juga hanya kecil. Aku kagum akan keberanianmu bergerak dengan pasukan yang kecil ini,“ jawab Ki Tambak Gede. “Tetapi sayang, bahwa justru karena itu maka pasukanmu telah menggelitik aku untuk menghancurkan pasukan kecilmu. Aku ingin menghancurkan kesombongan para prajurit Mataram. Aku akan membunuh kalian semua kecuali satu atau dua orang, agar mereka dapat menceritakan, bahwa kesombongan para prajurit Mataram sudah dihancurkan oleh sebuah perguruan. Nama perguruan kami yang sebenarnya bukan Tlaga Kuning. Dan namaku bukan Tambak Gede.” Orang itu pun berkata selanjutnya. “Tetapi kau tidak perlu mengetahui nama perguruanku dan namaku yang sebenarnya, karena itu sama sekali tidak perlu bagimu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu berkata, “Tetapi sebelum aku membunuhmu, aku ingin mengatakan kekagumanku terhadap ketajaman perasaanmu. Ternyata kau tidak begitu saja menerima undanganku. Dan itu membuat kami semakin bernafsu untuk membunuh kalian semuanya, selain satu atau dua orang seperti aku katakan.” “Baiklah, Ki Sanak. Kami adalah prajurit. Kematian memang sudah membayang sejak kami menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit yang baik. Karena itu, kau tidak usah menakut-nakuti kami dengan kematian.” “Kau memang anak iblis,” geram orang semula mengaku bernama Kiai Tambak Gede itu, “melihat umurmu, maka kau masih belum pantas bertempur menghadapi aku. Tetapi karena kau pemimpin tertinggi yang ada, maka kau memang harus menghadapi aku. Nasibmu yang buruk telah membawamu ke tanganku.” Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang menginjak hari-hari tuanya dengan kematangan ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu melihat orang itu memberikan isyarat. Ia telah mengangkat tangannya dan bahkan bersiut nyaring. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Dari belakang gerumbul dan tanaman di sawah yang kurang terpelihara itu, muncul sosok-sosok yang menggetarkan jantung. Para prajurit Mataram itu sudah ditempa dengan keras lahir dan batinnya. Namun terasa dada mereka berdegup semakin keras melihat orang-orang berpakaian gelap yang bermunculan, seakan-akan mencuat dari kegelapan. Sekali lagi terdengar isyarat dari orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu. Dan sekali lagi jantung para prajurit itu tergetar. Mereka melihat semua orang yang muncul dari persembunyiannya itu mengambil sepotong kain berwarna kuning dan dikalungkannya di leher mereka. “Apa artinya itu,“ desis seorang prajurit. “Entahlah. Tetapi mereka datang dari padepokan Tlaga Kuning, sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu.” “Bukan,“ sahut yang pertama, “bukankah sudah dikatakannya bahwa mereka bukan murid-murid perguruan yang bernama Tlaga Kuning?” “Orang itu sedang mengigau. Apa saja yang dikatakan, tetapi kita akan menghancurkan mereka.” Prajurit yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kita akan menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir.” “Atau mereka menghancurkan kita sampai orang yang terakhir pula.” “ Tidak. Ada satu atau dua orang yang akan disisakan. Nah, mudah-mudahan orang itu aku.” Kawannya tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya. “Ada apa?” bertanya seorang yang lain. “Maaf. Orang-orang yang muncul dari kegelapan itu nampaknya lucu sekali,“ jawab prajurit itu. Orang tua berjanggut putih itu menggeram. Ternyata prajurit Mataram tidak merasa ngeri melihat orang-orangnya yang berdiri tegak mematung di kotak-kotak sawah sebelah-menyebelah jalan. Dengan lantang orang itu berkata, “Kami mempunyai tiga lapis kekuatan. Yang kalian hadapi adalah pasukan Elang Emas. Tataran berikutnya adalah Elang Perak, dan lapisan yang tersusun dari para cantrik yang baru tumbuh adalah pasukan Elang Tembaga. Karena kami akan menghancurkan sekelompok prajurit Mataram, maka aku siapkan putut dan cantrik yang termasuk tataran kemampuan tertinggi.” “Ki Sanak. Kenapa tidak semua cantrikmu kau kerahkan? Bukankah pertempuran dengan prajurit Mataram akan menjadi pengalaman yang sangat baik bagi pasukan Elang Perak dan Elang Tembagamu itu?” bertanya Agung Sedayu. Orang itu menggeram. Katanya, “Kau benar-benar orang yang sombong, Ki Lurah. Tetapi kau akan menyesal.” “Tidak. Apapun yang terjadi, kami tidak akan menyesal. Bagi kami, jika kami harus kau bantai sampai habis, maka kami akan mati sambil tersenyum daripada mati sambil menangis. Kesombongan kadang-kadang memberikan kebanggaan bagi kami.” “Setan alas!“ bentak orang itu hampir berteriak. Lalu iapun berteriak pula, “Bunuh semua orang, kecuali dua orang yang menyerah dan mohon ampun! Siapa yang lebih dahulu menyerah dan mohon ampun, maka mereka-lah yang akan tetap hidup.” Agung Sedayu pun kemudian telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya untuk memasuki sebuah pertempuran yang keras. Demikianlah, orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu mulai bergerak. Mereka semuanya bersenjata sebuah tongkat baja yang tidak terlalu panjang. Sejenak kemudian, orang-orang dari pasukan Elang Emas itu sudah meloncati parit di pinggir jalan dengan sigapnya. Tetapi prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu telah mempersiapkan senjata mereka pula. Sebagian besar prajurit dari Pasukan Khusus itu bersenjata pedang. Sedangkan sebagian kecil bersenjata tombak pendek. Tetapi sebagai kelengkapan dari Pasukan Khusus, maka mereka juga bersenjata pisau belati panjang yang mereka pergunakan dalam keadaan yang khusus. Tetapi bukan hanya itu. Sebenarnyalah dalam tugas yang berat itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu dilengkapi pula dengan pisau-pisau belati kecil yang merupakan senjata lontar yang sangat berbahaya. Sejenak kemudian kedua kekuatan itu sudah saling berbenturan. Orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu bergerak dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, mereka seluruhnya telah terlibat dalam pertempuran yang dengan cepat pula meningkat. Orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu tertawa. Katanya, “Ki Lurah. Kau lihat bahwa orang-orangku lebih tangkas, lebih kuat, lebih terlatih dan lebih banyak. Apa yang kau andalkan? Kau sendiri tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku. Jangankan seorang Lurah prajurit, seorang Tumenggung pilihan pun tidak akan dapat menandingi kemampuanku. Menurut perhitunganku, hanya ada lima orang yang dapat mengalahkan aku di seluruh wilayah kekuasaan Mataram dan Pati. Mereka adalah Panembahan Senapati, Ki Juru Mertani, Kanjeng Adipati Pragola, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. Aku meragukan kemampuan orang-orang lain yang pernah disebut namanya di Mataram dan Pati. Aku tidak gentar mendengar nama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, atau Adipati Pajang atau Adipati manapun juga. Juga nama-nama besar para Senapati Pati, dan bahkan orang-orang yang disebut berilmu tinggi yang ada di sekitar Kanjeng Adipati Pragola. Mereka tidak lebih dari penjilat-penjilat yang tidak mempunyai kemampuan apapun juga. Nah, sekarang kau hanya seorang Lurah prajurit. Pertimbangkan pendapatku. Bagaimana jika kau adalah orang pertama yang menyerah? Kau akan mendapat pengampunan, dan aku persilahkan kau pulang memberikan laporan kepada Panembahan Senapati, bahwa prajurit-prajuritmu telah habis dibantai oleh pasukan Elang Emas dari perguruan yang setia kepada Kanjeng Adipati Pati.” Agung Sedayu dengan serta merta menyahut, “Sebut nama perguruanmu dan sebut namamu.” “Itu tidak perlu Ki Lurah,” jawab orang itu. “Jika demikian, aku tidak akan menyerah. Laporanku tentu dianggap tidak lengkap. Apakah aku hanya cukup mengatakan bahwa pasukan kecilku dibantai oleh sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang berjanggut pendek yang sudah memutih?” Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Rasa-rasanya aku memang ingin membunuhmu.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar bahwa lawannya tentu orang berilmu tinggi, yang menyejajarkan diri dengan seorang yang disebut Ki Gede Candra Bumi, dan bahkan Kanjeng Adipati Pragola sendiri. Melihat sikap Agung Sedayu, maka orang berjanggut Putih itu berkata, “Baiklah. Agaknya kau memang seorang Lurah prajurit yang baik. Karena itu, kita akan menyelesaikan persoalan kita di arena pertempuran. Agaknya kau ingin mati sebagai seorang prajurit. Bukan sebagai seorang pengecut.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur dengan garangnya. Ketika orang berjanggut putih itu sempat melihat sekilas, maka iapun menggeram, “Setan prajurit-prajurit Mataram.” Sebenarnyalah bahwa para prajurit dari Pasukan Khusus yang jumlahnya lebih kecil dari lawannya itu mampu mengimbangi kekuatan lawannya. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu tidak mampu menguasai medan. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur sambil bergerak dengan cepat. Mereka bergeser menghindar, namun sambil menyerang. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu dengan cepat telah mengerahkan kemampuan mereka. Agaknya pemimpinnya itu telah memerintahkan agar mereka dengan cepat pula menguasai lawannya. Bahkan membunuh mereka sampai hanya tersisa dua orang saja. Tetapi ternyata mereka tidak segera dapat melakukannya. Meskipun Pasukan Elang Emas adalah mereka yang terpilih dari tataran terbaik dari perguruannya, tetapi menghadapi Pasukan Khusus yang ditempa oleh Agung Sedayu itu, para putut dan cantrik terpilih itu tidak segera dapat menguasainya. Sebenarnyalah para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya para cantrik dari sebuah padepokan yang berlatih dengan bersungguh-sungguh tanpa mengenal jenuh. Mereka ditilik secara pribadi oleh Agung Sedayu, seorang Lurah prajurit yang kebetulan memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun kemudian telah menjadi semakin sengit. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berusaha dengan cepat menghancurkan lawan-lawannya, sementara para prajurit dari Pasukan Khusus pun dengan tegar mengimbanginya. Untuk beberapa saat orang berjanggut pendek yang berwarna keputih-putihan itu sempat melihat keadaan medan. Dahinya berkerut semakin dalam. Ia tidak menduga, bahwa kemampuan prajurit Mataram itu mampu mengimbangi para putut dan cantrik terpilihnya, yang termasuk dalam pasukan Elang Emas itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu harus mengerahkan kemampuan mereka. Namun bekal mereka memang sudah cukup untuk menghadapi pasukan Elang Emas itu. Dengan pedang keprajuritan yang dibuat khusus bagi Pasukan Khusus itu, para prajurit Mataram menghadapi tongkat-tongkat baja di tangan para putut dan cantrik itu. Beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak pendek memutar tombaknya seperti baling-baling. Benturan benturan telah terjadi. Para putut dan cantrik itu berusaha untuk mematahkan landean tombak pendek yang terbuat dari kayu itu. Tetapi tangan-tangan para prajurit yang trampil itu mampu menghindari benturan langsung. Bahkan sedap kali ujung tombak itu terayun mendatar menyambar ke arah lambung dan dada, sehingga para cantrik itu harus berloncatan mundur. “Apa yang telah kau perbuat atas para prajuritmu, sehingga mereka memiliki kemampuan secara pribadi yang tinggi itu?” bertanya orang berjanggut pendek itu. “Bukankah setiap prajurit Mataram harus berilmu tinggi?“ jawab Agung Sedayu. “Kau memang sombong. Tetapi sebentar lagi kau akan mati, dan semua prajuritmu akan mati.” Agung Sedayu tidak mejawab. Ketika orang berjanggut pendek itu bergeser, maka Agung Sedayu pun bergeser pula. “Tetapi kau memang tidak akan mati lebih dahulu, Ki Lurah. Aku akan melumpuhkanmu dan memaksamu melihat satu demi satu prajurit-prajuritmu dibantai di hadapanmu, sementara kau tidak dapat melindunginya. Baru kemudian, setelah tinggal dua orang prajuritmu yang akan tersisa hidup, kau akan aku cekik sampai mati. Nah, sekarang bersiaplah.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan segala keyakinan untuk dengan cepat menguasai Lurah yang masih terhitung muda itu, orang berjanggut pendek itu mulai mengayunkan tangannya. Sekedar untuk memancing lawannya. Tetapi Agung Sedayu pun turun ke medan dengan keyakinan yang teguh. Tanpa merendahkan lawannya. Agung Sedayu menghadapinya dengan tenang dan percaya diri. Melihat sikap Ki Lurah itu, maka darah orang berjanggut pendek itu menjadi semakin panas. Karena itu, sejenak kemudian serangan-serangannya pun mulai mengarah. Tenaganya menjadi semakin besar, dan geraknya pun menjadi semakin cepat. Tetapi Agung Sedayu pun selalu mampu mengimbanginya. Agung Sedayu pun telah meningkatkan tenaganya serta mempercepat geraknya sebagaimana lawannya. Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka selapis demi selapis. Lawan Agung Sedayu yang ingin mengetahui puncak kemampuan ilmu Agung Sedayu itu mulai menjadi gelisah. Kemampuan yang ditunjukkan oleh Lurah prajurit itu sudah lebih tinggi dari yang diduganya. Tetapi ketika orang itu meningkatkan kemampuannya selapis lagi, ternyata Agung Sedayu masih tetap mampu bertahan. “Darimana kau sadap ilmumu itu Ki Lurah?“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat menghindari serangan lawannya sambil menjawab, “Aku adalah Lurah prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, aku telah mendapat latihan-latihan yang berat dari para Senapati di Mataram.” “Kau jangan membual. Setinggi-tinggi ilmu seorang Lurah prajurit, tidak akan mampu melawan aku sampai tataran ini.” “Ternyata aku dapat melakukannya. Sementara prajurit-prajuritku mampu melawan orang-orangmu yang terbaik, yang kau sebut pasukan Elang Emas itu.” “Tidak ada orang Maratam yang mampu melawan aku, kecuali Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati sendiri.” “Omong kosong. Nampaknya kau belum pernah bertemu dengan para pemimpin Mataram, para Tumenggung dan Senapati terpilihnya. Kau juga belum pernah bertemu dengan orang-orang tua di padepokan-padepokan dan perguruan-perguruan.” “Cukup. Aku akan membungkam mulutmu,“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Sambil tertawa ia berkata, “Kenapa kau masih mengambil ancang-ancang. Bukankah kita sudah bertempur? Jika kau mampu membungkam mulutku, tentu sudah kau lakukan.” Orang itu menggeram. Wajahnya menegang dan sambil menggeretakkan gigi ia berkata, “Aku akan memaksamu merengek minta ampun, atau bahkan minta aku segera membunuhmu.” “Apa lagi yang akan kau lakukan? Apa lagi yang kau tunggu Ki Sanak?” Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Agung Sedayu meloncat sekali lagi mengambil jarak. Ia mulai merasakan sentuhan udara yang hangat menyambar tubuhnya, sejalan dengan ayunan tangan lawannya itu. Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu, lawannya ternyata tidak segera memburunya. Seakan-akan orang berjanggut pendek itu sengaja memberi kesempatan Agung Sedayu untuk menilai keadaan. “Apakah kau akan berusaha melarikan diri?“ bertanya orang itu. “Kenapa aku harus melarikan diri?” bertanya Agung Sedayu, “Aku masih utuh. Kulitku belum tergores luka dan darahku masih mengalir wajar di dalam tubuhku.” “Tetapi kau mulai mencium kemampuanku,“ jawab orang itu. Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, “Kau sejak tadi hanya berbicara tentang kemampuan, mengancam dan mengambil ancang-ancang. Tetapi kau tidak dapat berbuat apa-apa.” Orang berjanggut pendek dan berwarna keputih-putihan itu menggeram. Iapun segera meloncat menyerang pula. Ayunan tangannya mendatar ke arah kening. Namun Agung Sedayu sempat meloncat mengelakkan serangan itu. Serangan itu memang tidak berhasil. Namun sambaran anginnya telah memancarkan udara panas, menerpa kulit Agung Sedayu. Telah berkali-kali Agung Sedayu menjumpai ilmu seperti itu. Ia sendiri mampu melakukannya. Jika ia menghentakkan ilmu kebalnya pada puncak tertinggi, maka kekuatan ilmu kebalnya itu juga memancarkan getar panas yang memanasi udara di sekitarnya. Karena itu, Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut. Dengan demikian, pertempuran selanjutnya pun masih berlangsung dengan sengitnya. Udara panas itu tidak banyak berpengaruh atas Agung Sedayu. Loncatan-loncatan yang panjang mampu memperkecil pengaruh udara panas atas kulit Agung Sedayu. Lawan Agung Sedayu itu menjadi semakin heran. Ilmunya itu seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi Agung Sedayu. “Lurah prajurit yang masih terhitung muda ini ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi,“ berkata orang itu di dalam hatinya. Ia memang menjadi heran, bahwa seorang Lurah prajurit dapat bertahan sampai tataran yang terhitung tinggi itu. “Aku tidak yakin, bahwa kemampuannya itu didapatnya dari lingkaran keprajuritan,“ katanya di dalam hati. Namun kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk melepaskan ilmu yang lebih tinggi lagi. Bukan saja getar sambaran angin dari ayunan serangan-serangannya terasa panas. Tetapi serangan-serangan orang itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya terguncang dan bahkan ia terlempar beberapa langkah surut. Lawannya sama sekali tidak menyentuh wadagnya. Tetapi rasa-rasanya sebuah pukulan yang keras telah mengenai dadanya. Semula Agung Sedayu menduga bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang mempunyai ciri serangan-serangannya mendahului sentuhan kewadagannya, sebagaimana yang pernah juga dihadapinya. Tetapi ternyata tidak. Orang itu berdiri pada jarak yang tidak terlalu dekat. Juga tidak nampak kilat sinar atau percikan warna yang meloncat dari tangan atau sorot matanya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu memang agak mengalami kesulitan untuk menghindari serangan-serangan orang itu. Beberapa kali Agung Sedayu telah terguncang. Meskipun ia berusaha untuk menghindar, namun serangan-serangan itu masih selalu mengenainya. Agung Sedayu hanya dapat menduga arah serangan lawannya dari sudut pandang matanya serta arah gerak tangannya. Namun kadang-kadang ia memang terlambat. Setiap kali Agung Sedayu terguncang, maka orang itu pun tertawa sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Lurah. Kau akan menjadi sasaran permainan ilmuku. Kau akhirnya akan kehabisan tenaga, kesakitan dan penuh penyesalan. Dalam keadaan yang demikian, kau akan melihat prajurit-prajuritmu dibantai habis oleh orang-orangku dari pasukan Elang Emas.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi beberapa kali ia masih terguncang, jatuh berguling dan kemudian meloncat bangkit. Suara tertawa orang berjanggut putih pendek itu terdengar berkepanjangan. Serangannya semakin lama semakin sering. Ia menjadi semakin gembira melihat Agung Sedayu jatuh dan bangun menghadapinya. Namun akhirnya Agung Sedayu itu mengibaskan pakaiannya sambil berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara ini. Apakah kau masih mempunyai permainan lain yang lebih menyenangkan?” Orang itu terkejut. Ketika ia menyerang lagi, maka Agung Sedayu masih saja tetap berdiri, meskipun sekali-kali ia bergeser setapak. “Iblis. Kau pakai perisai apa Ki Lurah?“ bertanya orang itu hampir berteriak. Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Agung Sedayu-lah yang kemudian tertawa sambil berkata, “Permainanmu mulai menjemukan Ki Sanak.” Beberapa kali orang itu menyerang. Tetapi serangannya sia-sia saja. Agung Sedayu telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebalnya, sehingga serangan-serangan orang itu tertahan tanpa menyakitinya. Orang berjanggut pendek itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu, bahwa lawannya, seorang lurah Prajurit, telah mampu mengimbangi ilmunya. Karena itu, kemarahannya pun telah membakar jantungnya, sehingga orang itu pun telah menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Serangan-serangannya memang mampu menggetarkan perisai Ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi ilmunya itu tidak mampu menembusnya. Semakin meningkat kekuatan ilmunya sehingga mencapai puncaknya, maka ilmu kebal Agung Sedayu pun menjadi semakin rapat dan semakin tebal pula. Akhirnya orang itu harus mengakui, bahwa ilmunya itu tidak akan mampu menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka iapun menggeram, “Darimana kau curi ilmu kebalmu itu, he?” “Kenapa harus mencuri?“ bertanya Agung Sedayu. “Persetan dengan ilmu kebalmu. Tetapi dengan pusakaku, kau tidak akan mampu bertahan. Pusakaku akan mampu mengoyak ilmu kebalmu dan langsung menghunjam ke dalam jantungmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Namun jantungnya memang menjadi berdebar-debar ketika ia melihat lawannya itu mencabut sebilah keris. “Jangan menyesal,” geram orang itu, “kerisku akan mengakhiri kesombonganmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ia menyadari bahwa keris lawannya adalah keris yang sangat baik. Bukan saja buatannya. Bukan pula karena pamornya serta permata yang melekat pada ukirannya. Tetapi nampaknya keris itu memang pusaka yang diandalkannya, sehingga keris itu dapat meningkatkan kekuatan jiwani serta ketegaran hati orang yang memegangnya. Ketika keris itu mulai berputar, maka Agung Sedayu pun mulai merasakan sentuhan getaran udara panas yang seakan-akan menjadi berlipat. Apalagi ketika keris itu diayunkan. Rasa-rasanya kemampuan lawannya itu mulai menyusup ilmu kebalnya sedikit demi sedikit. Rasa-rasanya ujung-ujung dari mulai menyentuh kulitnya di bawah lapisan ilmu kebalnya. Agung sedayu pun menyadari, bahwa dengan keris di tangannya, orang itu menjadi semakin tegar, sehingga kemampuan ilmunya menjadi bertambah. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, jika angin yang timbul dari ayunan senjatanya saja telah mampu menyusup ilmu kebalnya, maka ujung keris itu sendiri tentu akan mampu menembus kulitnya dan mengoyakkan dagingnya. Bahkan ujung keris itu tentu akan mampu menghunjam di dadanya dan menembus sampai ke jantung. Karena itu, Agung Sedayu tidak akan membiarkan dirinya mengalami cedera. Sehingga dengan demikian, iapun harus menggapai tataran yang lebih tinggi lagi untuk melawan orang berjanggut putih itu. Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di sekitarnya pun minta perhatiannya pula. Ternyata para prajuritnya mengalami kesulitan melawan pasukan Elang Emas yang jumlahnya memang lebih banyak itu. Lawannya yang mengetahui bahwa perhatian Agung Sedayu sekilas tertarik kepada pertempuran di sekitarnya pun berkata, “Ki Lurah. Pertempuran tidak akan berlangsung lama lagi. Satu-satu orang-orangmu akan mati terkapar di bulak ini. Besok pagi burung-burung gagak akan bersantap di sini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayu tidak meneriakkan aba-aba. Ia mulai melihat bahwa prajurit-prajuritnya dari Pasukan Khusus itu mampu mengambil keputusan untuk mengatasi kesulitannya tanpa mendapat perintahnya. Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Tongkat-tongkat baja para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berputaran menyambar-nyambar. Seorang prajurit yang bersenjata tombak, ternyata gagal menyelamatkan landean tombaknya. Ketika terjadi benturan yang sangat keras dengan seorang putut yang ilmunya mulai mapan, maka landean tombaknya itu patah. Malang bagi prajurit itu, yang terlepas dari tangannya adalah justru landean tombaknya yang di bagian ujungnya, sehingga mata tombaknya ikut terlepas pula. Lawannya mulai menyeringai seperti hantu yang memandang sosok korbannya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Tongkatnya mulai terayun-ayun siap menimpa dan memecahkan kepala prajurit yang kehilangan senjatanya itu. Namun tiba-tiba putut itu terpekik. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja, sebuah pisau kecil datang menyambarnya. Sejenak putut itu terhuyung-huyung. Namun sebuah pisau belati yang tajam yang lebih panjang telah mematuk dadanya, menghunjam sampai ke jantung. Putut itu pun jatuh terjerembab. Tetapi ia tidak sempat lagi mengaduh. Dengan demikian, maka pisau pisau kecil pun mulai berperan dalam pertempuran itu. Beberapa orang putut dan cantrik telah jatuh menjadi korban pisau-pisau kecil yang dilontarkan oleh para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Orang berjanggut pendek itu pun mulai melihat perubahan keseimbangan yang terjadi di medan pertempuran itu. Tetapi orang itu tidak dapat berbuat banyak. Ia sendiri terikat dalam pertempuran dengan Lurah prajurit yang berilmu tinggi itu. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh orang berjanggut pendek itu adalah meneriakkan perintah-perintah untuk meningkatkan gelora perlawanan bagi para putut dan cantrik-cantriknya. Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu semakin lama memang semakin menguasai medan. Lawannya yang lebih banyak itu mulai menyusut meskipun perlahan-lahan. Seorang putut menjadi sangat marah, ketika lawannya melemparkan pisau kecil ke arah dadanya. Namun ia sempat menggeliat, sehingga pisau itu tidak tertancap di dadanya. Namun luka di lengannya itu telah menitikkan darah. Ketika putut itu bergerak semakin banyak, darah pun mengalir semakin banyak pula. “Licik kau,” geram Putut itu. “Kenapa?“ bertanya prajurit yang melukainya, sambil mempersiapkan diri menghadapi Putut yang melangkah mendekatinya sambil mengayun-ayunkan tongkat bajanya. “Kau melempar pisau-pisau kecil.” “Kenapa licik? Itu salah satu jenis senjataku,“ jawab prajurit itu. “Aku akan mencabik-cabik tubuhmu sampai lumat,” geram Putut itu. “O, kau kira kau benar-benar seekor burung elang yang mampu mencabik-cabik seekor anak ayam? He, jika seekor burung wulung terbang melingkar-lingkar, maka induk ayam pun berkotek memberi isyarat anak-anaknya agar bersembunyi. Tetapi wulung emas seperti kalian pun agaknya hanya dapat menakut-nakuti anak ayam.” Putut itu tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya. Getaran suaranya bagaikan mengguncang udara di seluruh medan pertempuran itu. Kemarahan yang bagaikan membakar jantung itu mencari saluran agar jantungnya tidak meledak. Prajurit itu terkejut. Bahkan para prajurit yang lain pun terkejut pula. Teriakan itu bagaikan membakar daun telinga. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas yang mendengar teriakan itu, bagaikan bangkit dari cengkaman kelelahan dan kesulitan menghadapi kemampuan lawan. Tiba-tiba saja mereka bergerak lebih cepat, dan kekuatan mereka yang menyusut pun telah tumbuh kembali. Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus itu sama sekali tidak tergetar. Mereka masih tetap bertempur dengan garang. Pisau kecil mereka masih saja menyambar-nyambar. Sementara itu, lawan Agung Sedayu itu pun telah mengerahkan kemampuan ilmunya pula. Menurut perhitungannya, para putut dan cantrik itu tidak segera dapat memenangkan pertempuran. Karena itu, maka ia harus segera mampu menembus ilmu kebal lawannya itu. Dengan demikian, maka keris itu pun berputar semakin cepat. Sambaran udara yang panas terasa semakin menekan. Getaran-getaran yang tajam terasa menusuk-nusuk kulit, menyusup ilmu kebalnya. Agung Sedayu yang mulai terdesak itu tidak ingin segera mempergunakan kemampuan sorot matanya. Tetapi sebagai murid utama dari perguruan Orang Bercambuk, maka Agung Sedayu pun segera mengurai cambuknya. Lawannya terkejut melihat cambuk Agung Sedayu. Bahkan ia bergeser selangkah surut. Dengan nada tinggi ia berdesis, “Orang Bercambuk. He, apakah kau mempunyai hubungan dengan Orang Bercambuk yang pernah berkeliaran di pesisir utara?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia bertemu dengan gurunya pertama kali di Dukuh Pakuwon, tidak terlalu jauh dari Sangkal Pulung. Tetapi pengembaraan Kiai Gringsing memang tidak terbatas. “Apakah kau pernah mengenal Orang Bercambuk?” bertanya Agung Sedayu. “Aku pernah mendengar namanya. Tetapi aku belum pernah bertemu.” “Apakah kau menyangka bahwa akulah orang bercambuk itu?” “Tentu tidak,” jawab orang itu, “mungkin kau cucunya, atau murid dari murid Orang Bercambuk itu.” “Siapapun aku, tetapi aku adalah Lurah prajurit Mataram. Menyerahlah. Aku akan membawamu ke Prambanan. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, melawan prajurit Mataram yang sedang menjalankan tugasnya.” “Setan kau,” geram orang itu. Tiba-tiba saja serangannya datang membadai, sehingga Agung Sedayu harus berloncatan mundur beberapa langkah. Sementara itu, terdengar lagi seorang putut yang berteriak sekeras-kerasnya, sehingga seakan-akan dedaunan di pepohonan telah berguncang. Daun yang kering telah berguguran, berserakan di jalan yang kotor. Ternyata teriakan-teriakan oleh beberapa orang putut itu memang berpengaruh. Namun para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas telah terkejut pula, ketika tiba-tiba cambuk Agung Sedayu meledak. Getaran suara cambuk itu seakan-akan telah mengoyak selaput telinga para putut dan cantrik itu. Namun orang berjanggut pendek itulah yang kemudian tertawa. Katanya, “Aku salah duga. Ternyata kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu. Agaknya kau tidak lebih dari seorang gembala kambing yang kebetulan menjadi prajurit.” Agung Sedayu memandang wajah orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berniat menghentikan perlawanannya dengan sorot matanya. Tetapi cambuk yang sudah ada di tangannya itu mulai bergetar lagi. Satu ledakan lagi lelah mengguncang malam yang hiruk pikuk oleh pertempuran itu. Para putut dan cantrik semakin tergetar hatinya. Suara cambuk itu terdengar lebih keras dan menghentak daripada teriakan-teriakan para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu. Tetapi orang berjanggut pendek itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ketika aku merasakan benturan ilmu kebal yang menyelimuti dirimu, aku mengira bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mendengar ledakan cambukmu yang seolah olah mengguncang bumi itu, justru aku tahu bahwa kemampuanmu tidak lebih dari perisai ilmu kebalmu, yang pada puncak pengetrapannya memancarkan udara panas yang tidak banyak pengaruhnya itu.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Ki Lurah. Jika semula aku mulai mengagumimu, maka ternyata kemudian kau tidak lebih dari dugaan sebelum kita mulai bertempur. Karena itu, maka sekali lagi aku menawarkan, menyerahlah. Kau akan tetap hidup. Justru kau akan aku beri kesempatan untuk kembali menghadap Panembahan Senapati dan memberikan laporan, bahwa semua prajuritmu telah mati dibantai oleh seorang pengikut Kanjeng Adipati Pragola.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Namun kemudian dihentakkannya cambuknya sendal pancing. Cambuk itu tidak meledak seperti sebelumnya. Suaranya tidak memekakkan telinga atau bahkan merontokkan isi dada. Tetapi hentakan cambuk yang tidak mengejutkan seorang putut dan cantrik itu ternyata telah menggetarkan jantung lawannya. Ilmu yang terpancar dari hentakan cambuk itu mampu menyusup ke relung-relung di dalam dadanya, sehingga di luar sadarnya orang itu telah tergetar selangkah surut. Dalam ketegangan, orang itu mendengar suara Agung Sedayu, “Kenapa Ki Sanak? Apa yang mengejutkanmu? Ketika cambukku meledak, kau sama sekali tidak terkejut. Tetapi justru ketika cambukku tidak melepaskan suara, kau tersentak seperti melihat hantu.” “Kau memang iblis,“ geram orang itu. Tetapi orang itu tidak banyak berbicara lagi. Dengan garangnya orang itu mulai lagi meloncat menyerang. Ayunan kerisnya yang berputar itu telah menaburkan udara yang panas, dan bahkan mampu menyusup ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi pada saat itu, Agung Sedayu telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran. Ia berniat untuk menangkap orang berjanggut pendek itu, karena menurut pendapatnya orang itu sangat berbahaya bagi para prajurit Mataram. Kesatuan-kesatuan kecil Mataram yang bertugas di sekitar padepokannya akan benar-benar dapat dimusnahkannya. Agaknya orang itu bukan orang yang sekedar mengancam dan menakut-nakuti. Dengan demikian, maka cambuk Agung Sedayu itu pun segera berputaran, menghentak dan menggeliat, memburu lawannya yang berloncatan menghindarinya. Namun sekali-sekali orang itu masih juga berusaha menyerang dengan kerisnya, yang jika berhasil, akan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, orang berjanggut pendek itu menjadi semakin terdesak. Ujung cambuk Agung Sedayu semakin dekat menggapai-gapai tubuhnya. Meskipun demikian, orang itu masih sempat berkata, “Ternyata kau bukan seseorang yang menerima keturunan ilmu dari Orang Bercambuk yang berkeliaran di pesisir utara itu. Meskipun aku belum pernah mengenalnya, tetapi aku pernah mendengar cerita tentang orang itu.” “Kau nampak dalam kebingungan Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan cambuknya, sehingga orang itu meloncat surut. “Tadi kau mengatakan bahwa aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu, ketika kau dengar cambukku meledak mengatasi teriakan-teriakan orang-orangmu. Sekarang kau katakan bahwa aku bukan orang yang menerima keturunan ilmu Orang Bercambuk itu, karena agaknya kau melihat alur dan unsur ilmu yang berbeda dari cerita yang pernah kau dengar dari orang lain.” “Persetan dengan igauanmu,” geram orang itu. “Menyerahlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kau tidak boleh berkeliaran lagi. Kau sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit Mataram.” Orang itu tidak menjawab. Tetapi orang itu bertempur semakin garang. Agung Sedayu memang tidak melihat kemungkinan untuk memaksa orang itu menyerah. Ia tidak akan melakukannya di hadapan murid-muridnya yang terpilih. Sementara itu, keadaan murid-muridnya pun tidak menjadi lebih baik. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu ternyata mampu mengatasi perlawanan pasukan Elang Emas, yang jumlahnya semula lebih banyak dari pasukan kecil prajurit Mataram yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu. Dari waktu ke waktu, kemampuan perlawanan pasukan Elang Emas itu semakin menyusut, sehingga mereka pun menjadi semakin terdesak pula. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu berhasil menyusut jumlah lawannya. Meskipun ada juga korban di antara para prajurit, tetapi para putut dan cantrik yang tergabung dalam pasukan Elang Emas itu menyusut lebih cepat. Pisau-pisau kecil yang lepas dari tangan para prajurit itu hinggap di dada, lambung, dan bahkan di leher mereka. Sementara itu, pedang dan ujung-ujung tombak para prajurit pun terayun-ayun menebas, mematuk dan menyambar-nyambar. Tidak ada kesempatan lagi bagi pasukan Elang Emas itu untuk dapat memenangkan pertempuran. Sementara itu, pemimpin perguruan yang berjanggut pendek itu pun semakin mengalami kesulitan pula. Meskipun kerisnya itu sekali-sekali mampu mengejutkan Agung Sedayu, namun setiap kali ujung cambuknya selalu dapat menghalau lawannya. Orang berjanggut pendek itu pun menjadi sangat marah. Tetapi ia terbentur pada suatu kenyataan, bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi orang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Bahkan orang berjanggut putih itu mencoba untuk memutuskan ujung cambuk Agung Sedayu dengan kerisnya. Namun orang itu tidak berhasil. Ia memang berhasil menebas ujung cambuk Agung Sedayu yang menggeliat, tetapi ujung cambuk itu tidak terputus karenanya. Bahkan hampir saja keris itu terlepas dari tangannya. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah benar-benar berniat mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka iapun meningkatkan serangan-serangan cambuknya langsung ke arah tubuh lawannya. Ketika ujung cambuknya mulai menyentuh kulit lawannya, maka terdengar umpatan yang kasar meledak dari mulut orang berjanggut putih itu. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Meskipun ia mengerahkan ilmunya sampai ke puncak kemampuannya, tetapi ternyata bahwa ia menjadi semakin terdesak. Goresan ujung cambuk Agung Sedayu itu bukan sekedar meninggalkan goresan merah di kulitnya. Tetapi kulit itu benar-benar telah terkoyak. Darah pun mulai mengalir dari lukanya itu. “Aku memberikan kesempatan terakhir kepadamu, Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan ujung cambuknya, sehingga getarannya mengguncang selaput telinganya. Tetapi lawannya justru menggeram, “Aku bunuh kau anak yang sombong.” Bagi Agung Sedayu, rasa-rasanya sudah cukup memberi lawannya itu kesempatan untuk menyerah. Tetapi agaknya lawannya itu seorang yang keras hati. Apalagi ia berada di hadapan murid-muridnya yang terbaik, sehingga ia tidak mau mengorbankan harga dirinya. Sementara itu, Agung Sedayu pun tidak ingin melepaskan lawannya yang sangat berbahaya itu, karena pada kesempatan lain ia tentu benar-benar akan menyulitkan prajurit Mataram. Karena itu, maka tidak ada pilihan bagi Agung Sedayu. Ia harus menghentikan perlawanan orang berjanggut itu untuk selamanya, agar ia tidak membuat kesulitan lagi di kemudian hari. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah sampai ke puncak ilmu cambuknya, ilmu yang diwarisinya dari gurunya. Sebagai murid utama, maka Agung Sedayu benar-benar telah menguasai kemampuan ilmu cambuk sebagaimana gurunya sendiri. Apalagi Agung Sedayu memang sudah benar-benar menguasai berbagai macam ilmu yang dapat mendukung ilmu cambuknya. Dengan demikian, sejenak kemudian cambuk Agung Sedayu pun bergerak semakin cepat. Ujungnya menggapai dari segala arah, seakan-akan juntai cambuk Agung Sedayu itu telah bercabang menjadi berpuluh-puluh juntai yang bergerak bersama-sama. Lawannya memang tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Ujung cambuk itu telah menyentuh dan menyentuh lagi. Sehingga lukanya pun menganga dimana-mana. Meskipun demikian, orang berjanggut pendek itu masih tetap mengadakan perlawanan. Kerisnya masih saja berputar. Angin yang menyambar-nyambar tubuh Agung Sedayu, masih saja mampu menyusup menembus ilmu kebalnya. Namun semakin lama sentuhan itu pun menjadi semakin lemah. Ayunan keris itu pun menjadi semakin lamban pula. “Kau memang anak iblis,“ geram orang itu, ketika tubuhnya telah dibasahi oleh darahnya yang mengalir dari beberapa buah lukanya. “Di Mataram hanya ada dua orang yang dapat mengalahkan aku. Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati. Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi kau hanya seorang Lurah prajurit.” Suaranya terputus ketika ujung cambuk Agung Sedayu menyambar dadanya. Segores luka menganga di dadanya. Orang berjanggut pendek itu terhuyung-huyung. Namun ia masih dapat bertahan untuk berdiri. Dengan suara yang menghentak-hentak ia berkata, “Hanya ada tiga orang yang aku takuti di Pati. Kanjeng Adipati, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi.” “Ki Gede Candra Bumi telah tidak berdaya lagi sekarang. Mungkin ia masih hidup, tetapi ia terluka parah. Di medan pertempuran, aku telah bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi sebagai Senapati Pengapit.” Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian iapun mengumpat, “Gila kau. Tidak ada orang yang dapat mengalahkannya.” “Aku mengalahkannya,“ berkata Agung Sedayu, “bukan maksudku menyombongkan diri. Aku hanya ingin agar kau menyadari, dengan siapa kau berhadapan. Kau tidak dapat menentang kenyataan.” “Persetan,“ geram orang itu. Namun iapun kemudian telah berteriak nyaring. Dihempaskannya segala kemampuan, kekuatan dan ilmunya lewat telapak tangannya. Dilemparkannya kerisnya mengarah ke dada Agung Sedayu. Agung Sedayu terkejut. Dengan serta merta ia menggeliat. Namun karena hal itu tidak diduganya sama sekali, maka ia sedikit terlambat. Keris itu telah menembus ilmu kebalnya, menggores lengannya. Namun dalam pada itu, dengan gerak naluriah Agung Sedayu pun telah menghentakkan cambuknya. Demikian derasnya, dilambari dengan puncak ilmu cambuknya. Terdengar orang berjanggut pendek itu berteriak sekali lagi. Tetapi nadanya sangat berbeda. Cambuk yang dihentakkan oleh Agung Sedayu itu telah mengoyak lambungnya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian iapun terhuyung-huyung. Ia ternyata tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian iapun jatuh terguling. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia sempat mengamati seluruh medan. Namun iapun segera yakin bahwa prajurit-prajuritnya akan mampu menguasai lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun kemudian melangkah mendekati orang berjanggut pendek itu. Meskipun masih tetap berhati-hati, Agung Sedayu berjongkok di sisinya. Orang itu sudah terluka terlalu parah. Namun ia masih juga tersenyum sambil berkata, “Kau jangan merasa dirimu menang. Ki Lurah.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Kau pun tentu akan mati. Bisa yang melekat pada kerisku tidak akan dapat dilawan dengan obat apapun juga.” Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Agung Sedayu yang tawar akan segala bisa itu memang tidak mencemaskan dirinya. Bisa itu tidak akan berarti apa-apa bagi tubuhnya. Tetapi Agung Sedayu tidak mau mengecewakan orang itu. Karena itu Agung Sedayu itu hanya berdiam diri saja. Di saat-saat yang gawat itu, orang berjanggut pendek itu masih sempat berkata dengan penuh dendam dan kebencian, “Aku akan mati bersamamu. Bisa itu akan bekerja dengan cepat.” Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Ia tidak sampai hati mengatakan, bahwa bisa pada keris orang itu tidak akan membunuhnya, justru pada saat terakhir dari hidupnya. Karena orang itu akan menjadi sangat kecewa. Namun orang itu menjadi tidak sabar. Keadaannya menjadi semakin parah, sementara Agung Sedayu masih tetap berjongkok di sampingnya. “He, kenapa kau tidak mati? “ orang itu mencoba menggeliat. Namun justru pada saat yang paling gawat itu ia mencoba menghentakkan badannya, sehingga karena itu maka sisa tenaganya telah dihabiskannya. Orang itu pun kemudian terkulai dengan lemahnya. Matanya menjadi kabur, sehingga akhirnya semuanya menjadi pekat. Agung Sedayu meraba dada orang itu. Namun dada itu sudah tidak bergerak lagi. Nafasnya pun telah berhenti sama sekali. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia bangkit berdiri, pertempuran memang sudah selesai. Beberapa orang cantrik telah menyerah. Sedangkan beberapa orang sempat melarikan diri. Namun para prajurit itu tidak mengejar mereka, justru karena mereka tidak menguasai medan dengan baik. “Kalian sudah mengambil langkah yang benar,“ berkata Agung Sedayu. Tanpa perintahnya, para prajuritnya pun sudah mengambil keputusan sebagaimana dikehendakinya. Namun peristiwa itu ternyata menghambat perjalanan pulang pasukan kecil prajurit Mataram itu. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah, serta mereka yang gugur di pertempuran. Namun para prajurit itu harus segera bergerak. Para cantrik yang melarikan diri akan dapat memanggil kawan-kawan mereka. Mungkin pasukan Elang Perak, dan bahkan mungkin pasukan yang disebut Elang Tembaga. Karena itu, para prajurit Mataram itu telah membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka untuk segera menghindar dari bekas medan pertempuran. Di sisa malam itu, pasukan kecil itu bergerak dengan sendat. Mereka harus mengawasi para tawanan, membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Sementara itu, mereka telah melepaskan dua orang tawanan untuk memanggil kawan-kawan mereka, agar mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh di peperangan. Menjelang fajar, pasukan kecil itu telah berada di sebuah padukuhan. Mereka terpaksa mengubur kawan-kawan mereka di sebuah kuburan yang terdapat di padukuhan itu, dengan tanda-tanda khusus. Hari itu, Agung Sedayu terpaksa menunda perjalanannya. Agung Sedayu memberi kesempatan para prajuritnya untuk beristirahat. Sementara itu sebenarnya Agung Sedayu sendiri juga memerlukan waktu untuk beristirahat. Meskipun tubuhnya tidak banyak terganggu oleh lukanya yang terhitung tidak berbahaya itu, namun ternyata bahwa sapuan udara yang tajam yang sempat menyusup ilmu kebalnya itu membuat Agung Sedayu merasa sangat letih. Namun demikian, Agung Sedayu tetap mengatur pengawasan di sekitar padukuhan itu. Mungkin sekali para pengikut orang berjanggut pendek itu masih tetap mendendam dan ingin membalas para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu. Setelah beristirahat sehari, maka keadaan pasukan kecil itu nampak menjadi segar kembali. Namun ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka, terasa bahwa sebagian dari mereka tertinggal di padukuhan itu. Agung Sedayu memandangi beberapa onggok tanah yang masih merah. Disitulah beberapa prajuritnya yang menjadi korban di kuburkan. Perjalanan prajurit Mataram itu memang menjadi lamban. Selain mereka harus mengawasi beberapa orang tawanan, mereka pun membawa kawan kawan mereka yang terluka. Bahkan juga orang-orang dari pasukan Elang Emas itu. Ternyata perjalanan kembali ke Prambanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam satu hari. Setiap kali iring-iringan itu harus berhenti, beristirahat dan mengobati orang-orang yang terluka dengan obat-obatan yang ada. Untunglah bahwa Agung Sedayu sendiri memiliki kemampuan ilmu obat-obatan yang diwarisi dari gurunya langsung, dan yang diketemukannya di dalam kitab yang ditinggalkan gurunya itu. Dengan obat-obatan yang sederhana itu, Agung Sedayu dapat membantu keadaan mereka yang terluka dan memberikan sedikit kesegaran, sehingga mereka masih dapat melanjutkan perjalanan. Ketika pasukan kecil itu beristirahat di sebuah padukuhan yang sudah tidak terlalu jauh lagi dari Prambanan, Agung Sedayu telah memerintahkan dua orang prajuritnya untuk mendahului dan memberikan laporan bahwa pasukan kecil itu sudah dalam perjalanan kembali. Namun kedua orang prajurit itu menjadi kecewa. Perkemahan di Prambanan itu telah kosong. Panembahan Senapati dan para prajurit Mataram telah kembali ke Mataram. Yang tinggal adalah sebagian dari para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, serta sebagian lagi para pengawal dari Sangkal Putung. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Swandaru masih menunggunya di Prambanan. Agung Sedayu tidak pernah merasa tidak senang terhadap adik seperguruannya yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Tetapi kadang-kadang Agung Sedayu merasa jenuh mendengar nasehat-nasehatnya. Apalagi jika Agung Sedayu sendiri sedang letih atau gelisah, atau perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan hatinya. Maka mendengarkan nasehat-nasehat Swandaru rasa-rasanya menambah kelelahan jiwanya saja. Setiap kali Agung Sedayu juga merasa bersalah, bahwa ia tidak dapat menunjukkan tataran kemampuannya yang sebenarnya, dibandingkan dengan kemampuan adik seperguruannya. Tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk menunjukkan kebenaran tentang perbandingan ilmu mereka itu. Meskipun demikian Agung Sedayu menyadari, jika perbandingan ilmunya itu tidak juga segera diketahui oleh adik seperguruannya itu, maka nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk itu masih akan didengarnya terus. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu memang harus mengusap dadanya jika Swandaru itu seakan-akan marah kepadanya, karena Agung Sedayu itu dinilainya malas dan tidak merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi setiap kali Agung Sedayu gagal untuk memaksa perasaannya, agar ia menunjukkan kepada Swandaru bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu adik seperguruannya, yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Demikianlah, sebagaimana diduganya, ketika Agung Sedayu memasuki perkemahan di Prambanan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, ternyata bahwa Untara dan Swandaru masih berada di perkemahan itu. Demikian Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka Agung Sedayu pun segera memberikan laporan kepada Untara, apa yang telah dialaminya sepanjang perjalanan. “Kau terluka?“ bertanya Untara kemudian. “Sedikit Kakang,” berkata Agung Sedayu. “Apakah senjata lawanmu itu tidak berbisa?” bertanya Untara kemudian. Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Menurut pemiliknya, senjatanya itu memang sangat berbisa.” Untara mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa adiknya memiliki kemampuan untuk menangkal segala macam bisa, bahkan bisa yang paling kuat sekalipun. “Serahkan para tawanan itu kepada kelompok yang bertugas, sementara kau dan prajurit-prajuritmu dapat beristirahat. Orang-orang yang terluka akan segera mendapat perawatan dan pengobatan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan yang ada. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan kembali ke Mataram.“ Agung Sedayu pun kemudian membawa para prajuritnya untuk beristirahat. Mereka mendapat kesempatan untuk menggeliat setelah beberapa hari mengalami ketegangan dalam tugas. Mereka dapat mandi sepuas-puasnya, tidur dan makan sebanyak-banyaknya. Sabungsari yang juga berada di perkemahan itu sempat menemuinya. Tetapi keduanya tidak dapat lama berbincang-bincang, karena Sabungsari pun harus bertugas. Agung Sedayu yang sedang melepaskan segala ketegangan itu menarik nafas dalam-dalam, ketika Swandaru datang menemuinya. “Aku dengar kau terluka, Kakang?“ bertanya Swandaru. “Siapa yang mengatakan kepadamu?“ Agung Sedayu justru bertanya. “Sabungsari. Baru saja aku bertemu ketika Sabungsari membawa sekelompok prajuritnya keluar perkemahan.” Agung Sedayu menarik nafas. Kepada Sabungsari ia memang mengaku bahwa ia terluka. Tetapi tidak berpengaruh sama sekali. “Bagaimana dengan luka itu?“ bertanya Swandaru pula. Agung Sedayu menunjukkan luka di lengannya sambil berkata, “Segores kecil. Tidak apa-apa.” Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Untunglah bahwa senjata lawanmu itu tidak beracun. Jika senjata lawanmu itu termasuk senjata yang baik dengan warangan yang baik pula, maka sentuhan segores kecil itu akan dapat berakibat sangat buruk.” Namun Agung Sedayu menjawab, “Bukankah di dalam kitab Guru disebut, bagaimana kita melawan racun?” “Jika kita kebetulan tidak membawa obat itu?” “Aku selalu membawanya. Obat itu bukan saja dapat kita pergunakan untuk kita sendiri, tetapi juga untuk menolong orang lain yang terkena bisa atau racun,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi ada jenis racun dan bisa yang tidak dapat ditangkal dengan obat apapun kecuali dengan obat penangkalnya, yang khusus dibuat untuk jenis racun itu.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Memang ada.” “Karena itu, maka agaknya lebih baik jika kita tidak terluka sama sekali,“ berkata Swandaru kemudian. “Ya. Ya. Tentu lebih baik,“ sahut Agung Sedayu. “Berkali-kali aku katakan, kita harus berusaha untuk tidak terluka di pertempuran,“ berkata Swandaru dengan bersungguh-sungguh. Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Swandaru itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Itu adalah yang terbaik. Tetapi suatu ketika kita dapat bertemu dengan lawan yang berilmu lebih tinggi dari ilmu yang kita miliki. Dalam keadaan yang demikian, bukan saja kita dapat terluka, tetapi kita dapat mati. Kita sudah mendapat banyak contoh bahwa orang berilmu tinggi dapat juga mati di pertempuran. Mungkin kita memiliki kelebihan secara pribadi dengan lawan yang kita temui di medan. Tetapi penguasaan medan, kerja sama di antara kelompok dan perang gelar, akan dapat menjebak kita dalam kesulitan.” “Memang Kakang. Tetapi maksudku, semakin siap kita memasuki medan pertempuran, maka kita akan merasa lebih mantap. Keselamatan kita akan lebih terjamin.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Aku sependapat.” Swandaru pun kemudian telah menanyakan apa yang dialami Agung Sedayu sepanjang perjalanannya mengikuti pasukan Pati yang sedang ditarik mundur. “Sebuah pertempuran kecil,“ berkata Agung Sedayu, “justru pada saat kami akan kembali ke Prambanan ini.” Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang telah dialaminya. Ia tidak banyak bercerita tentang lawannya yang berjanggut pendek itu. “Kau masih beruntung Kakang,“ berkata Swandaru, “orang-orang yang mencegatmu agaknya merasa diri mereka berkemampuan sangat tinggi. Namun ternyata kemampuan mereka tidak lebih dari kemampuan para prajurit Mataram dan para pengawal Sangkal Putung. Barangkali juga para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan pemimpinnya tidak mampu menilai pasukan yang sedang dihadapinya.” “Agaknya memang demikian,“ berkata Agung Sedayu. “Baiklah, Kakang. Bukankah sekarang kau mendapat kesempatan untuk beristirahat? Beristirahatlah. Kapan Kakang akan kembali ke Tanah Perdikan? Jika Kakang mempunyai kesempatan, aku minta Kakang singgah barang sehari di Sangkal Putung.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Besok aku akan kembali ke Mataram. Mungkin pada kesempatan lain saja aku singgah di Sangkal Putung.” “Besok?“ bertanya Swandaru, “Begitu cepat? Bukankah pasukan kecil Kakang itu perlu beristirahat?” “Kakang Untara menganggap bahwa waktu istirahat sampai esok sudah cukup. Kami akan mendapat kesepatan berisirahat lebih lama. Atau bahkan kesempatan beristirahat itu kami dapatkan setelah kami berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku akan meninggalkan perkemahan ini bersama pasukan Kakang Untara.” “Kapan?“ bertanya Agung Sedayu. Swandaru menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu, Kakang. Tetapi Kakang Untara telah memerintahkan kepadaku, bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang masih ada di pesanggrahan ini akan meninggalkan pesanggrahan bersama pasukan Mataram yang ada di Jati Anom. Yang kemudian akan ditinggalkan di pesanggrahan ini sampai waktunya pesanggrahan ini dibongkar adalah sekelompok prajurit saja.” “Tetapi aku kira memang sudah tidak akan lama lagi. Pesanggrahan ini agaknya memang akan dibongkar. Demikian pula bekas pesanggrahan Kanjeng Adipati Pati.” “Ya. Pesanggrahan itu sekarang ditunggui pula oleh sekelompok prajurit Kakang Untara. Agaknya kedua pesanggrahan itu memang akan segera dibongkar.” Demikianlah, Swandaru pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke baraknya. Namun sambil melangkah pergi iapun berkata, “Besok sebelum Kakang berangkat aku akan menemui Kakang. Agaknya seisi perkemahan ini akan mengetahui kapan Kakang akan berangkat besok.” Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu menarik nafas panjang. Rasa-rasanya ia sudah meletakkan beban yang cukup berat. Meskipun ia tidak berusaha untuk menghindarinya, tetapi jika beban itu diletakkan, maka dadanya merasa menjadi longgar. Agung Sedayu pun kemudian benar-benar merasa beristirahat, ketika ia berjalan-jalan di luar perkemahan. Beberapa ratus langkah dari perkemahan, Agung Sedayu telah berdiri di atas tanggul Kali Opak. Air Kali Opak memang tidak begitu deras dan tidak pula dalam. Hanya di beberapa tempat saja harus diseberangi dengan rakit. Tetapi ada bagian yang landai, yang untuk menyeberangi Kali Opak harus berjalan di tepian berpasir yang terhitung luas. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu berdiri seorang diri memandangi aliran Kali Opak. Namun kemudian iapun melangkah menelusuri tanggul. Angin bertiup mengusap tubuhnya yang basah oleh keringat, Terasa sentuhan yang segar di kulit wajahnya. Di dataran yang membentang di hadapannya, nampak tanaman di sawah yang rusak terinjak-injak kaki. Ketika prajurit Mataram dan Pati bergerak dalam gelar, maka di sawah itu tidak lagi nampak daun batang padi atau jagung yang hijau segar. Tetapi yang nampak adalah daun pedang dan tombak yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tanah itu tentu masih membekas darah. Dedaunan yang berserakan terinjak kaki prajurit itu tentu diperciki oleh warna darah yang tumpah. Beberapa saat ia merenung. Sudah beberapa kali ia berada di medan pertempuran atau bertempur seorang melawan seorang. Tetapi setiap kali hatinya masih saja menjadi resah jika ia mengenang tubuh yang berserakan terbujur lintang di medan pertempuran. Kemenangan memang memberikan kebanggaan bagi seorang prajurit. Tetapi apakah kematian dan kehancuran juga memberikan kebanggaan? Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun melangkah meninggalkan tanggul Kali Opak itu, kembali ke perkemahan. Langkahnya satu-satu, seakan-akan tanpa disadari, karena angan-angannya masih saja tersangkut pada bayangan-bayangan yang mengerikan yang terjadi di peperangan. Di dalam perkemahan, Agung Sedayu mendapat perintah resmi dari Untara, yang mendapat kuasa untuk memimpin semua pasukan yang ada di perkemahan itu, besok saat matahari naik sepenggalah, bersama pasukan kecilnya berangkat kembali ke Mataram. Para tawanan dan orang-orang yang terluka parah saja-lah yang akan tetap tinggal di perkemahan sampai saatnya perkemahan itu dibongkar. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri. Ia telah memerintahkan pasukannya pula untuk bersiap. Esok mereka akan berangkat kembali ke Mataram. Karena itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah mempergunakan waktu beristirahat mereka sebaik-baiknya. Mereka besok akan menempuh sebuah perjalanan lagi. Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi sisa-sisa kelelahan mereka tentu masih akan terasa. Tetapi mereka merasa senang atas perintah itu. Mereka tentu akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sehingga bergiliran mereka akan mendapat kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka. Demikianlah, ketika saat sudah mendekat di keesokan harinya, Swandaru benar-benar menyempatkan diri menemui Agung Sedayu untuk mengucapkan selamat jalan. Namun iapun masih juga berdesis, “Biarlah kitab Guru ada pada Kakang lebih dahulu. Tetapi aku minta Kakang lebih menekuni bidang kanuragan daripada bidang pengobatan.” “Baiklah. Aku akan mencoba,“ jawab Agung Sedayu. “Jangan sekedar mencoba,“ sahut Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Swandaru berkata, “Kakang harus bersungguh-sungguh. Jika Kakang sekedar mencoba, maka hasilnya tidak akan pernah menjadi baik.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Aku memang harus bersungguh-sungguh.” Swandaru melihat kesungguhan di wajah kakak seperguruannya itu. Namun kemudian iapun berkata, “Selamat jalan Kakang. Pada kesempatan lain aku akan pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi jika Kakang sempat, justru karena persoalan antara Mataram dan Pati telah selesai, kami berharap Kakang dan Sekar Mirah dapat mengunjungi Sangkal Putung.” “Baiklah,“ Agung Sedayu mengangguk angguk, “kami akan memerlukan datang ke Sangkal Putung. Sekar Mirah tentu akan senang menengok keluarga yang sudah agak lama tidak bertemu.” Demikianlah, beberapa saat kemudian para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu pun sudah mulai bergerak meninggalkan perkemahan, yang tidak lama lagi akan dibongkar sebagaimana pesanggrahan pasukan Pati. Sambil melepas para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu, Untara sempat berpesan, “Hati-hatilah Agung Sedayu. Mungkin masih ada orang yang akan memburumu sampai ke Tanah Perdikan. Keluarga orang berjanggut pendek yang kau bunuh itu atau saudara-saudara seperguruannya akan dapat mendendammu, justru karena pertempuran itu terjadi di luar arena perang antara Mataram dan Pati.” Agung Sedayu mengangguk angguk sambil menjawab, “Ya, Kakang. Aku akan berhati-hati.” “Kau harus segera melaporkan diri kepada Ki Tumenggung Yudapamungkas, atau langsung ke Ki Patih Mandaraka jika kau dapat menghadap.” “Ya, Kakang,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, sejenak kemudian ketika matahari memanjat semakin tinggi, Pasukan Khusus itu berjalan beriringan menuju ke Mataram. Jalan yang dilalui oleh pasukan kecil itu masih nampak sepi. Gema perang yang terjadi di Prambanan masih belum hilang, sehingga masih banyak orang yang tidak berani turun ke jalan. Bahkan padukuhan-padukuhan di sebelah-menyebelah jalan itu masih nampak lengang. Orang-orang padukuhan yang dekat degan jalan itu memang ada yang mengungsi menjauh. Jika pasukan Pati mampu menembus pertahanan Mataram di Prambanan, maka jalan itu akan dilalui oleh pasukan Pati segelar-sepapan, sehingga nasib orang yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan itu akan dapat menjadi sangat buruk. Perjalanan dari Prambanan ke Mataram memang merupakan jalan yang cukup panjang. Namun karena perjalanan yang mereka tempuh bukan jalan yang rawan, maka rasa-rasanya perjalanan itu tidak melelahkan. Meskipun demikian, ketika matahari sampai ke puncak langit, terasa betapa panasnya membakar ubun-ubun. Di sore hari, pasukan kecil itu mendekati gerbang kota. Pasukan kecil itu mulai mengatur diri dan menyusun barisan sebaik-baiknya. Ciri-ciri khusus Pasukan Khusus itu pun telah dipasang. Kelebet berujung runcing telah dipasang pada tunggulnya. Agung Sedayu tidak menduga bahwa pasukan kecilnya mendapat sambutan yang memberikan kebanggaan di setiap dada para prajuritnya. Agaknya di Mataram telah tersiar berita, bahwa Pasukan Khusus yang baraknya berada di Tanah Perdikan Menoreh dan dipimpin oleh Agung Sedayu itu termasuk salah satu di antara beberapa kelompok pasukan Mataram yang terbaik. Karena itu, Pasukan Khusus itu pula-lah yang mendapat perintah untuk mengikuti gerak mundur pasukan Pati sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Orang-orang yang tinggal di Kotaraja, yang mendengar berita kehadiran Pasukan Khusus itu, telah turun ke jalan, memberikan penghormatan dan bahkan terdengar mereka bersorak untuk menyatakan kekaguman mereka. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Jantungnya terasa berdentang lebih cepat dan lebih keras daripada saat ia memasuki perang gelar melawan Pati. Bahkan saat ia berada di sisi Panembahan Senapati sebagai Senapati Pengapitnya. Kakinya merasa menjadi berat, demikian pula para prajurit. Mereka seakan-akan bergerak sangat lamban meskipun mereka sudah berjalan cepat. Namun jalan menjadi terhambat oleh orang-orang yang ingin menyaksikan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Di Mataram, para prajurit itu langsung menuju ke alun-alun. Dua orang penghubung telah menghubungi Tumenggung Yudapamungkas. Sebelum matahari turun ke punggung bukit, pasukan itu telah memasuki sebuah barak yang memang sudah disediakan. Ki Tumenggung Yudapamungkas sendiri yang menerima pasukan kecil itu dan kemudian langsung menerima laporan dari Agung Sedayu. “Kalian dapat beristirahat di sini sampai besok lusa,“ berkata Ki Tumenggung, “selanjutnya, kalian tentu ingin segera pulang ke barak kalian di Tanah Perdikan Menoreh, untuk selanjutnya menunggu giliran pulang menemui keluarga.” Demikianlah, para prajurit itu telah beristirahat sebaik-baiknya di barak itu. Di keesokan harinya, Ki Patih Mandaraka telah datang bukan saja menemui Agung Sedayu, tetapi Ki Mandaraka berniat menemui seluruh prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk menyatakan terima kasihnya. “Kalian akan mendapat kesempatan cukup untuk bergantian mengunjungi keluarga kalian,“ berkata Ki Patih Mandaraka. Namun kebanggaan para prajurit semakin bertambah-tambah ketika Ki Patih Mandaraka berkata, “Nanti malam, Panembahan Senapati berkenan untuk mengunjungi kalian.” Sebenarnyalah, ketika malam turun, sekelompok pasukan Pengawal Istana telah datang ke barak itu ,mempersiapkan kedatangan Panembahan Senapati di barak itu. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu menjadi sangat berbesar hati ketika Panembahan Senapati sendiri langsung mengucapkan terima kasih kepada mereka. Panembahan Senapati juga menyatakan bela sungkawa, bahwa beberapa orang terbaik di antara mereka terpaksa ditinggalkan dan diserahkan ke pangkuan bumi. “Mataram berhutang budi kepada kalian. Juga kepada para keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang gugur di medan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Lalu katanya pula, “Tidak seorangpun di bumi Mataram yang menginginkan terjadinya perang. Tetapi perang itu ternyata tidak dapat kita elakkan dengan penuh kesadaran bahwa perang itu akan menimbulkan bencana. Tetapi jika kita tidak memaksa diri untuk perang, maka bencana yang akan menimpa Mataram menjadi jauh lebih besar. Karena itu, maka kita terpaksa memilih sesuatu yang sangat kita benci, yaitu perang.” Jantung para prajurit itu memang tergetar. Mereka memang tidak dapat menyingkir dari peperangan. Bukan karena para prajurit Mataram itu selalu bermimpi untuk membunuh. Panembahan Senapati memang tidak lama berada di barak itu. Beberapa saat kemudian Panembahan Senapati langsung meninggalkan barak itu di atas punggung kudanya, dikawal oleh beberapa kelompok pasukan Pengawal Istana, pasukan pilihan di antara prajurit terbaik Mataram. Namun kebanggaan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak kalah dari kebanggaan para prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu. Di keesokan harinya, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah melepas para prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk selanjutnya, bergantian para prajurit itu akan mendapat kesempatan untuk menengok keluarga mereka masing-masing untuk waktu yang terhitung panjang. “Tetapi dengan demikian, kalian harus berbicara dengan para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian juga turut mempertahankan keberadaan Mataram dari serangan prajurit Pati, terutama yang datang dari arah utara,“ pesan Ki Tumenggung Yudapamungkas, “namun mereka telah mendapat kesempatan untuk mendahului kembali ke Tanah Perdikan. Pada saat para prajurit bergantian meninggalkan barak, para pengawal harus berada dalam kesiagaan yang tinggi. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin ada sekelompok orang yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan bagi mereka sendiri. Tetapi mungkin sekelompok orang yang membawa dendam ke Tanah Perdikan Menoreh.” Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah meninggalkan barak tempat tinggal dan landasan segala kegiatan mereka. Di situ pula mereka telah ditempa oleh Agung Sedayu, sehingga mereka benar-benar menjadi prajurit pilihan yang mendapat kehormatan langsung dari Panembahan Senapati sendiri, sehingga kedudukan mereka setingkat dengan kesatuan-kesatuan terbaik di Mataram. Di sepanjang perjalanan, iring-iringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang padukuhan-padukuhan sepanjang jalan menuju ke Tanah Perdikan melihat kesatuan kecil itu dengan bangga. Satu dua orang yang mengetahui bahwa pasukan itu adalah Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, telah memberitahu tetangga-tetangga mereka. “Pasukan itu baru pulang dari Prambanan. Mereka telah berhasil mengusir pasukan dari Pati,“ berkata seseorang dengan bangga, seakan-akan dirinya sendiri-lah yang telah memenangkan perang itu. Ketika mereka menyeberang Kali Praga dengan beberapa buah rakit yang harus mondar-mandir, tukang-tukang rakit itu tidak mau menerima upah yang seharusnya memang menjadi hak mereka, karena mereka itu merasa bangga atas pasukan itu. “Cerita tentang Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu sudah lewat mendahului pasukan ini sendiri,“ berkata salah seorang dari tukang satang itu. “Ah, tidak ada yang pantas dipuji,“ desis salah seorang pemimpin kelompok. “Kemarin orang-orang yang menyeberang mengatakan bahwa Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh sudah berada di Kotaraja. Mereka akan segera menuju ke Tanah Perdikan,“ sahut tukang satang itu. Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Terima kasih atas pujian itu.” “Kami mengatakan sebagaimana dikatakan orang tentang Pasukan Khusus ini,“ berkata tukang satang yang lain. Para prajurit yang mendengar pujian itu pun tertawa. Namun mereka tidak dapat melupakan bahwa sebagian dari mereka harus tertinggal di perjalanan kembali ke Prambanan dari menjalankan tugas yang cukup berat. Agung Sedayu yang memimpin pasukan itu tidak sampai hati untuk benar-benar tidak membayar upah para tukang satang yang sudah bekerja keras itu. Meskipun semula tukang-tukang satang itu menolak, namun Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Uang ini bukan uangku pribadi. Kami sudah mendapat biaya penyeberangan ini. Uang ini kami terima dari pimpinan kami di Mataram. Jadi uang ini berasal dari Ki Sanak pula. Bukankah Ki Sanak setiap kali telah dipungut pajak?” Akhirnya tukang-tukang satang itu menerima juga. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu memasuki Tanah Perdikan Menoreh, mereka melihat bahwa perang yang terjadi di Prambanan itu hampir tidak ada pengaruhnya. Kehidupan di Tanah Perdikan itu berjalan seperti biasa. Kesibukan orang yang bekerja sehari-hari. Jalan-jalan yang tidak menjadi sepi. Namun Agung Sedayu mengetahui bahwa beberapa saat yang lalu, ketika pasukan pengawal Tanah Perdikan kembali dari Mataram, air mata pun telah menitik. Beberapa orang anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini telah gugur di medan pertempuran. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak mendapat sambutan yang berlebihan ketika mereka kembali memasuki barak mereka. Tetapi Ki Gede Menoreh, Prastawa, Glagah Putih dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan sudah menunggu. Mereka memang sudah mendapat pemberitahuan lebih dahulu, bahwa hari itu para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan kembali ke barak. Upacara pun hanya berlangsung seperlunya. Kemudian, Ki Gede Menoreh sebagai Kepala Tanah Perdikan telah mempersiapkan penyambutan kedatangan para prajurit itu dengan acara makan bersama. Dengan bekerja bersama para prajurit yang bertugas di dapur, Tanah Perdikan Menoreh telah menyiapkan hidangan khusus untuk menyambut kedatangan para prajurit dari medan tugas mereka. Meskipun tidak berlebihan, tetapi sambutan itu memberikan kegembiraan bagi para prajurit yang baru saja menempuh perjalanan itu. Memang bukan perjalanan yang panjang. Tetapi sisa-sisa kelelahan yang masih melekat di dalam diri mereka masing-masing, menjadi sedikit terobati dengan sambutan yang menggembirakan itu. Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu merasa telah berada di rumah mereka kembali. Sementara itu, mereka pun mulai menunggu giliran untuk dapat pulang mengunjungi keluarga mereka. Hari itu Agung Sedayu sendiri juga belum pulang ke rumahnya. Bersama para pemimpin kelompok, Agung Sedayu telah mempersiapkan susunan giliran bagi para prajuritnya yang baru pulang dari medan perang, untuk beristirahat bersama keluarga mereka masing-masing. Baru di hari berikutnya. Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khususnya. Keluarga Agung Sedayu tiba-tiba telah menjadi cerah. Seperti lampu yang semula kekurangan minyak, tiba-tiba telah dituang lagi sampai penuh. Bukan saja istrinya, Sekar Mirah, yang menyambut kedatangan Agung Sedayu, tetapi juga Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan juga Wacana dan istrinya, Kanthi, yang khusus datang untuk mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang baru saja menjalankan tugasnya yang berat itu, rasa-rasanya telah mendapat kesempatan untuk meletakkan segala macam beban di pundaknya. Ia benar-benar merasa lepas dari segala ikatan tanggung jawab dalam tugasnya. Hari itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi sibuk di dapur. Glagah Putih telah memotong tidak hanya seekor ayam. Tetapi untuk menjamu tamu-tamunya yang berdatangan, maka Glagah Putih telah memotong beberapa ekor ayam. Di hari berikutnya, Agung Sedayu masih juga beristirahat di rumah. Ia sengaja tidak pergi ke barak, sebagaimana sudah diberitahukannya kepada para pembantunya. Para pembantunya-lah yang kemudian mengatur pelaksanaan pemberian waktu beristirahat bagi para prajuritnya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak sempat menikmati waktu istirahatnya sampai tuntas sebagaimana direncanakannya. Ketika kemudian matahari condong di sisi barat langit, dua orang perwira prajurit Pengawal Istana, diantar oleh Ki Lurah Branjangan, telah datang ke rumah Agung Sedayu. Dengan jantung berdebar-debar Agung Sedayu mempersilahkan tamu-tamunya untuk naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan. Setelah mempertanyakan keselamatan perjalanan mereka, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kedatangan Ki Lurah Branjangan serta Ki Sanak berdua telah mengejutkan aku.” “Aku hanya akan bertemu dengan Wulan saja, sekaligus menunjukkan jalan kedua orang perwira dari pasukan Pengawal Istana yang ingin menemui Ki Lurah Agung Sedayu, yang tidak berada di barak karena sedang beristirahat.” “Kami memang mempunyai keperluan dengan Ki Lurah,“ berkata salah seorang dari kedua orang perwira itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara salah seorang tamunya itu berkata, “Kami membawa perintah langsung dari Panembahan Senapati bagi Ki Lurah Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Perintah apakah yang harus aku jalankan?” “Ki Lurah dipanggil menghadap. Ki Lurah melaporkan dari kepada Ki Patih Mandaraka, kemudian Ki Lurah akan dibawa manghadap oleh Ki Patih.” “Apakah yang harus aku lakukan kemudian?” bertanya Agung Sedayu di luar sadarnya. “Kami tidak mengetahuinya Ki Lurah. Kami hanya mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah. Besok sebelum matahari terbenam, Ki Lurah harus sudah berada di Kepatihan.” Demikianlah, setelah mendapat hidangan minum dan makan, kedua orang perwira dari Pasukan Pengawal Istana itu minta diri untuk kembali ke Mataram. “Kami tidak singgah di barak, Ki Lurah Branjangan.” “Silahkan. Aku juga masih akan berada di sini. Bahkan mungkin sampai besok. Cucuku ada di sini,“ jawab Ki Lurah Branjangan. Sepeninggal kedua orang prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang Sekar Mirah. Wajah Sekar Mirah yang baru saja menjadi terang itu redup kembali. Tetapi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian iapun telah tersenyum kembali sambil mempersilahkan Ki Lurah Branjangan, “Marilah Ki Lurah. Silahkan melanjutkan menikmati hidangan seadanya ini.” Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menangkap getar perasaan Sekar Mirah yang hanya sesaat itu. Sekar Mirah tentu merasa kecewa, bahwa demikian suaminya pulang, telah datang perintah kepadanya untuk tugas-tugas berikutnya. Meskipun mereka belum tahu tugas apa yang akan diemban, tetapi tugas itu tentu termasuk tugas yang penting, karena perintah itu datang langsung dari Panembahan Senapati. Namun justru karena itu, Agung Sedayu telah benar-benar mempergunakan hari-harinya yang pendek itu untuk beristirahat. Bersama Sekar Mirah, mereka sempat mengunjungi Prastawa. Singgah di rumah Ki Gede, dan pergi melihat sawahnya yang ditumbuhi batang-batang padi yang subur. “Aku tidak dapat menghindari perintah, apalagi yang datang langsung dari Panembahan Senapati, Mirah,“ berkata Agung Sedayu. “Aku mengerti, Kakang,“ jawab Sekar Mirah, “tetapi aku akan ikut menjadi bangga, justru karena Kakang mendapat kesempatan untuk melakukan tugas-tugas penting itu.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih atas pengertianmu Mirah. Aku berharap bahwa pada kesempatan lain, aku akan dapat beristirahat lebih lama lagi.” “Kau sudah cukup memberikan waktumu kepada keluarga, Kakang. Bukankah di hari-hari biasa, kau setiap hari dapat pulang?” “Hari-hari yang benar-benar terlepas dari bayangan tugas-tugas yang melelahkan.” “Tetapi kita sudah memilih untuk tinggal di dalam duniamu sekarang ini Kakang.” “Ya. Dengan pengertian dan doronganmu, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas-tugasku sebaik-baiknya.” Sebenarnyalah Sekar Mirah berusaha untuk mengerti bahwa suaminya bukan harus sekedar memenuhi keinginannya. Justru suaminya selalu berada di dalam bayang-bayang tugasnya sebagai seorang prajurit. Di keesokan harinya, Agung Sedayu harus pergi ke baraknya untuk memberitahukan dengan resmi bahwa hari itu pula ia harus pergi ke Mataram. Karena itu, Agung Sedayu harus membagi dan menyerahkan tugas-tugas kepemimpinannya di barak itu kepada pembantu-pembantunya. Hari itu, Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan lagi menuju ke Mataram. Dibawanya Glagah Putih besertanya, untuk kawan berbincang di perjalanan. “Kenapa kau tidak membawa satu dua orang pengawal?” bertanya Ki Lurah Branjangan. “Biarlah mereka menikmati saat-saat istirahat mereka,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, seperti yang diperintahkan kepadanya, sebelum matahari terbenam Agung Sedayu sudah berada di Kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka. Ketika ia menyampaikan permohonan untuk menghadap, Ki Lurah Agung Sedayu itu pun langsung dapat diterima, karena Ki Patih memang sudah menunggu kedatangan Agung Sedayu. “Kita akan langsung menghadap Panembahan Senapati,” berkata Ki Patih kemudian. Namun katanya pula, “Tetapi biarlah adik sepupumu itu menunggumu di sini.” “Baik Ki Patih,“ jawab Agung Sedayu, yang kemudian memberitahukan kepada Glagah Putih agar ia tinggal di Kepatihan. Glagah Putih menyadari bahwa ia tidak berwenang untuk ikut mendengar perintah Panembahan Senapati kepada kakaknya, seorang prajurit. Karena itu maka katanya, “Baik Kakang. Aku akan menunggu Kakang di Kepatihan.” Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih telah mengenal beberapa orang abdi dalem Kepatihan, sehingga ia tidak merasa canggung. Ketika Raden Rangga masih ada, Glagah Putih sering berada di Kepatihan itu bersamanya. Setelah Raden Rangga tidak ada, Glagah Putih pun sekali-sekali masih juga berada di Kepatihan untuk tugas-tugas tertentu. Sementara itu, Ki Patih Mandaraka bersama Agung Sedayu telah menghadap langsung Panembahan Senapati. “Ada tugas yang penting, Agung Sedayu,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan,“ sahut Agung Sedayu. “Aku tidak dapat mempercayakannya kepada orang lain. Apalagi adik-adikku. Beberapa orang Pangeran telah dikenal baik oleh orang-orang Pati,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Jantung Agung Sedayu menjadi berdebar. Ia sudah dapat menduga, tugas apa yang akan dibebankan kepadanya. Sebenarnyalah Panembahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut laporan beberapa orang yang belum dapat dipastikan kebenarannya, Adimas Adipati bukan hanya menarik pasukannya sampai ke sebelah utara pegunungan Kendeng, tetapi justru telah berada di Pati. Tetapi kekalahannya yang terjadi di Prambanan tidak membuatnya jera. Adimas Pragola dari Pati justru menyusun kekuatan kembali untuk menghantam Mataram.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Perintah yang bakal diterima menjadi semakin terang di angan-angannya. Satu perjalanan jauh harus ditempuhnya. Sebenarnyalah Panemahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Aku ingin kau pergi ke Pati untuk memastikan, apakah benar Adimas Adipati Pragola telah menyusun kekuatan kembali. Aku minta kau dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat memberikan laporan. Aku minta kau berada di Pati untuk beberapa hari. Sudah tentu kau tidak perlu sendiri. Kau dapat membawa kawan untuk berbincang di perjalanan. Aku tidak menunjuk siapakah yang akan kau bawa. Terserah kepadamu. Atau seandainya kau tidak mau seorang kawan pun yang justru akan dapat mengganggumu.” Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab, “Hamba akan menjalankan segala perintah Panembahan.” “Kau tidak perlu berangkat besok. Mungkin kau masih ingin beristirahat satu dua hari lagi.“ “Terima kasih Panembahan. Jika demikian hamba masih dapat pulang dan bermalam satu malam di rumah hamba.” “Tentu,” jawab Panembahan Senapati, “selanjutnya, kau dapat memilih kawan. Prajurit atau bukan prajurit.” “Apakah hamba boleh membawa Glagah Putih bersama hamba?” bertanya Agung Sedayu. “Tentu. Aku juga sudah tahu tataran ilmu anak itu. Jauh lebih tinggi dari kewajaran anak-anak muda. Apalagi yang seumurnya,“ jawab Panembahan Senapati. “Ampun Panembahan. Glagah Putih tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain kenakalannya,“ berkata Agung Sedayu agak ragu. Tetapi Panembahan Senapati itu pun berkata, “Kau pun tentu akan mengatakan bahwa kau pun tidak mempunyai kelebihan apa-apa, meskipun kau tentu tidak akan lupa bahwa kita pernah menjadi pengembara bersama.” Agung Sedayu yang tersenyum itu tidak menjawab, sementara Panembahan Senapati bertanya kepada Ki Patih, “Bagaimana pendapat Paman Mandaraka?” Ki Patih Mandaraka pun tertawa pula. Katanya, “Aku sependapat dengan Angger Panembahan. Ki Lurah Agung Sedayu yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa itu biarlah pergi ke Pati untuk melihat apa yang sekarang ini berkembang di Pati, dalam hubungannya dengan cerita beberapa orang petualang bahwa Pati yang gagal menyerang Mataram itu telah mempersiapkan kekuatan baru untuk menentang Mataram.” Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka masih saja tertawa. Demikianlah, beberapa saat kemudian setelah memberikan beberapa pesan lagi, Panembahan Senapati pun telah memperkenankan Agung Sedayu meninggalkan istana. “Jika kau akan berangkat ke Pati, kau sudah tidak perlu menemui aku lagi, Agung Sedayu. Pesanku sudah cukup banyak, dan kau pun sudah mengetahui apa yang sebaiknya kau kerjakan.” “Hamba Panembahan,“ jawab Agung Sedayu sambil mengangguk hormat. “Nah, selamat malam. Aku kira kau akan bermalam di Kepatihan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan, jika Ki Patih Mandaraka memperkenankan.” “Ia datang bersama adik sepupunya,“ berkata Ki Patih. “Maksud Paman. Agung Sedayu datang bersama Glagah Putih?” “Ya, Ngger.” “Kenapa anak itu tidak kau ajak kemari?“ bertanya Panembahan Senapati kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Patih-lah yang menjawab, “Aku minta Glagah Putih tinggal di Kepatihan.” Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah Agung Sedayu yang memberitahukan kepadanya.” Demikianlah, Ki Patih Mandaraka pun telah mohon diri bersama Agung Sedayu meninggalkan istana untuk pergi ke Kepatihan, karena Agung Sedayu dan Glagah Putih akan bermalam di sana. Di Kepatihan, Agung Sedayu masih mendapat beberapa pesan dari Ki Patih Mandaraka. Bukan saja sebagai Patih di Mataram, tetapi juga sebagai orang tua. “Kau jangan merasa berkecil hati bahwa kau telah ditunjuk untuk menjalankan tugas ini, Agung Sedayu,“ berkata Ki Patih Mandaraka. “Tidak Ki Patih, Kami berdua tentu akan merasa bangga jika kami dapat menjalankan tugas ini dengan baik.” “Jika tiba-tiba saja kau yang teringat oleh Angger Panembahan Senapati untuk menjalankan tugas ini, justru kau adalah terhitung orang terakhir yang menjalankan tugas yang berat untuk mengikuti gerak mundur Pasukan Pati. Itu adalah karena Panembahan Senapati tidak dapat melupakan kau selama pengembaraanmu bersamanya, sebagaimana Panembahan Senapati mempercayaimu untuk menjadi Senapati Pengapitnya. Bagi Panembahan Senapati, kau adalah orang yang khusus. Meskipun kedudukanmu tidak lebih dari seorang Lurah prajurit, tetapi ternyata kau mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Panembahan Senapati.” “Satu kebanggaan tersendiri, Ki Patih,“ desis Agung Sedayu. Ki Patih Mandaraka tersenyum. Kemudian katanya, “Nah, sudahlah. Kita akan makan bersama. Kemudian kau dan Glagah Putih dapat beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi kalian berdua.” Agung Sedayu, apalagi Glagah Putih, memang merasa canggung untuk makan bersama Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Patih telah memerintahkannya. Malam itu, di dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka, Agung Sedayu telah menceritakan perintah Panembahan Senapati itu kepada Glagah Putih. Kemudian Agung Sedayu pun telah memberitahukan pula, bahwa Agung Sedayu diperkenankan mengajak Glagah Putih untuk menjalankan tugas itu. Ternyata Glagah Putih menjadi gembira atas kesempatan itu. Katanya, “Terima kasih Kakang. Dengan demikian maka pengalamanku akan bertambah.” “Besok lusa kita berangkat. Apakah kau akan singgah di Jati Anom untuk bertemu dengan Paman Widura?” “Baik Kakang. Kita akan singgah, jika itu tidak menghambat perjalanan kita,“ jawab Glagah Putih. “Apakah Kakang juga akan singgah di Jati Anom?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Tentu. Jika kau singgah, aku pun akan singgah.” “Maksudku, menemui Kakang Untara. Atau bahkan singgah di Sangkal Putung?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam kesibukan tugas dan ketegangan yang masih dialaminya dalam tugas-tugas barunya, Agung Sedayu rasa-rasanya masih belum ingin bertemu dengan Swandaru. Karena itu, meskipun ia tidak tahu apakah Swandaru masih berada di bekas perkemahan pasukan Mataram atau tidak, maka iapun menjawab, “Swandaru masih berada di perkemahan bersama Kakang Untara. Mereka bertugas sampai perkemahan itu dibongkar. Juga perkemahan orang-orang Pati.” Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih pun merasa segan untuk bertemu dengan Swandaru, meskipun Swandaru tidak pernah menilainya sebagaimana ia menilai kemampuan Agung Sedayu. Malam itu ternyata Glagah Putih tidak segera dapat tidur. Ia masih saja memikirkan tugas yang dibebankan kepada Agung Sedayu, dan yang kemudian melimpah pula kepadanya. Ia merasa bangga, bahwa Panembahan Senapati memberikan ijin langsung ketika Agung Sedayu menyebut namanya untuk menyertai tugasnya yang berat itu, meskipun ia bukan seorang prajurit. Namun akhirnya, Glagah Putih pun telah terlelap pula. Pagi-pagi keduanya sudah bangun dan berbenah diri. Kemudian, ketika matahari terbit, keduanya bermaksud mohon diri untuk segera berangkat kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi Ki Patih Mandaraka masih mempersilahkan keduanya untuk makan pagi. Selagi mereka makan, Ki Patih masih sempat bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah ikat pinggang itu masih ada padamu?” Glagah Putih menyingkapkan bajunya sambil berkata, “Tentu, Ki Patih.” Ki Patih tersenyum. Katanya, “Bagus. Semakin lama ikat pinggang itu akan menjadi semakin akrab denganmu.” “Ya, Ki Patih,“ jawab Glagah Putih sambil mengangguk-angguk kecil. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan Kepatihan. Keduanya pun kemudian melarikan kuda mereka di sepanjang jalan kota, meskipun tidak terlalu kencang. Baru kemudian, ketika mereka keluar dari pintu gerbang, keduanya telah melecut kuda mereka, sehingga sejenak kemudian kuda-kuda itu telah berderap semakin cepat. Angin yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah mereka. Di langit, selembar awan terapung hanyut ke arah Gunung Merapi. Pepohonan di sebelah-menyebelah jalan seakan-akan terbang ke belakang, sementara pematang sawah bagaikan berputar bersama padukuhan-padukuhan di tengah-tengah bulak persawahan yang luas. Orang-orang yang berpapasan, dengan cepat berusaha menepi. Ketika matahari naik semakin tinggi, keduanya telah sampai ke tepian Kali Praga. Keduanya pun langsung membawa kuda mereka naik ke atas sebuah rakit yang cukup besar, bersama beberapa orang penumpang yang lain. Setiap kali kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu masih saja menarik perhatian banyak orang. Seorang pedagang yang nampaknya cukup berhasil telah menanyakan dari mana Glagah Putih mendapatkan kuda itu. “Dari seorang sahabat, Ki Sanak. Sahabatku memiliki beberapa ekor kuda yang baik. Ia telah memberikan kepadaku seekor,“ jawab Glagah Putih. “Jika ada orang yang menjual kuda sebaik itu, aku mau membeli dengan harga berapapun juga,“ berkata orang itu. Glagah Putih mengetahui maksudnya. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapinya. Namun orang itu kemudian berkata selanjutnya, “Apakah kau tidak ingin menukarkan kudamu, Ki Sanak? Jika kau sudah terlalu lama memiliki dan barangkali sudah menjadi jemu.” Tetapi Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak merasa jemu dengan kudaku ini.” Tiba-tiba saja Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Barangkali Ki Sanak juga tertarik pada kudaku? Aku-lah yang sudah merasa jemu dengan kudaku. Aku ingin menggantinya dengan kuda setegar kuda adikku itu.” Orang itu mengerutkan keningnya. Sambil memandang kuda Agung Sedayu ia berkata, “Kudamu biasa-biasa saja Ki Sanak.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Justru karena itu, aku ingin kuda yang tidak bisa.” Pedagang itupun tertawa pula. Demikianlah, rakit mereka pun bergerak semakin dekat dengan tepian di seberang. Pedagang itu tidak habis-habisnya mengagumi kuda Glagah Putih. Ketika kemudian mereka turun selelah membayar upah penyeberangan, pedagang itu masih juga berkata, “Jika kapan-kapan kau menjadi jemu dengan kudamu, katakan kepadaku, Ki Sanak.” “Kemana aku mencari Ki Sanak?“ berkata Glagah Putih. “Aku tinggal di padukuhan Karang Gayam, Kademangan Kleringan, Ki Sanak. Namaku Wirakerti.” “Jadi Ki Sanak orang Kleringan?” bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi. “Ya. Apakah kalian pernah pergi ke Kleringan?“ bertanya orang itu. “Aku orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku banyak mengenal orang-orang Kleringan. Aku juga mengenal Ki Demang,“ jawab Glagah Putih. “O,” pedagang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Syukurlah jika demikian. Datang saja ke rumahku meskipun kau tidak ingin mejual kudamu. Aku sudah merasa senang mendapat kesempatan mengamatinya.” “Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. Namun mereka pun kemudian berpisah. Glagah Putih dan Agung Sedayu mengambil jalan yang langsung menuju ke padukuhan induk Tanah perdikan, sementara orang itu menuju ke Kleringan. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk. Ketika mereka sampai di rumah, ternyata Ki Lurah Branjangan masih ada di rumah itu pula. Setelah beristirahat sejenak sambil minum-minuman hangat, Sekar Mirah yang segera ingin mengetahui tugas apa yang harus diemban oleh suaminya telah bertanya, “Perintah apakah yang Kakang terima dari Panembahan Senapati?” Agung Sedayu pun telah menceritakan dengan singkat tugas yang harus dilakukannya. Ia memilih berangkat bersama Glagah Putih daripada mengajak satu dua orang prajurit dari Pasukan Khususnya, yang sedang menikmati masa-masa istirahat mereka. “Jadi Kakang Glagah Putih akan ikut bersama Kakang Agung Sedayu dalam tugas ini?“ bertanya Rara Wulan “Ya. Ia akan pergi bersamaku untuk beberapa hari lamanya.“ “Tetapi Kakang harus membawanya pulang seutuhnya,“ berkata Rara Wulan. Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia masih bertanya, “Apa yang kau maksudkan? Apakah aku harus membawanya pulang tanpa cacat, tanpa segores luka pun di tubuhnya, atau aku harus membawanya pulang dengan hatinya yang masih utuh tanpa dilukai oleh gadis-gadis Pati?” “Ah, Kakang. Pokoknya utuh semuanya,“ jawab Rara Wulan. Yang mendengar jawaban itu tertawa. Wajah Rara Wulan tiba-tiba saja menjadi panas. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesah beberapa kali. “Jangan cemas, Wulan,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku akan membawanya pulang dengan tanpa cacat. Tubuh dan hatinya.” Rara Wulan masih saja berdesah. Tetapi bahwa Agung Sedayu masih mempunyai waktu satu dua hari sebelum berangkat, telah membuat Sekar Mirah agak terhibur. Ia masih sempat berbincang panjang dengan suaminya, yang baru saja pulang dari medan perang dengan mempertaruhkan jiwanya. Namun Sekar Mirah pun menyadari bahwa tugas yang diemban oleh Agung Sedayu itu pun bukan tugas yang ringan. Ia akan berada di tempat yang asing dalam tugas sandi. Namun akhirnya, sampai pula saatnya Agung Sedayu dan Glagah Putih harus berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih akan singgah di sebuah padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing. Padepokan Orang Bercambuk, yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura. Semalam menjelang keberangkatan Agung Sedayu dan Glagah Putih, keduanya sempat mengunjungi dan minta diri kepada Ki Gede. Sedangkan untuk sementara Agung Sedayu minta agar Ki Lurah Branjangan berada di barak pasukan khususnya. Meskipun ia sudah mengatur tugas bagi para pembantunya, namun Ki Lurah Branjangan masih tetap mempunyai pengaruh di barak Pasukan Khusus itu. Meskipun Sekar Mirah mengerti sepenuhnya bahwa suaminya menjalankan tugasnya, namun rasa-rasanya berat juga melepaskannya pergi tanpa mengetahui kapan ia akan kembali. Demikian pula Rara Wulan. Meskipun kedudukan Rara Wulan masih belum sama seperti Sekar Mirah yang melepas Agung Sedayu, namun hati Rara Wulan pun terasa bergejolak pula. Berkuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Keduanya sama sekali tidak singgah di Mataram. Mereka justru menghindari agar perjalanan mereka tidak terhambat. Di perjalanan, keduanya harus berhenti untuk beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka istirahat pula. Sebagaimana mereka menghindari Kotaraja, maka mereka pun telah menghindari bekas perkemahan pasukan Mataram dan pasukan Pati di Prambanan. Mereka menyeberangi Kali Opak dan Kali Dengkeng beberapa ratus patok dari perkemahan. Kemudian keduanya melarikan kuda mereka langsung menuju Jati Anom, melingkar di kaki Gunung Merapi. Tidak ada hambatan yang mereka temui di perjalanan. Meskipun ada beberapa padukuhan yang masih nampak sepi, namun pada umumnya orang-orang yang mengungsi dari sekitar jalur jalan yang diperkirakan akan dilalui pasukan Pati, telah kembali. Padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom pun telah mulai terisi. Pada umumnya orang-orang laki-laki telah kembali ke rumah mereka untuk mempersiapkan tempat bagi keluarganya. Bahkan ada juga satu dua keluarga yang seluruhnya telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Sementara itu, beberapa kelompok prajurit telah berada di Jati Anom untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi, jika ada sekelompok orang yang ingin mencari kesempatan bagi kepentingan mereka sendiri. Bahkan kemungkinan timbulnya kejahatan terhadap orang-orang yang pulang dari pengungsian. Sementara barang-barang yang berharga masih terkumpul di satu tempat khusus, sebagaimana mereka simpan selama mereka mengungsi. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak singgah dimana-mana. Tetapi kadang-kadang keduanya memang harus berhenti jika mereka berpapasan dengan sekelompok prajurit yang sedang meronda. Kepada para prajurit yang menghentikan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus menjawab beberapa pertanyaan sebelum mereka diperkenankan melanjutkan perjalanan. Tetapi setiap kali keduanya menyatakan akan pergi ke padepokan kecil di Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Widura, maka mereka dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih telah disambut dengan gembira sekali oleh Ki Widura. Selain mereka memang sudah lama tidak bertemu, Widura juga selalu berdebar-debar jika ia mengingat anaknya yang berada di dalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Widura tahu bahwa Glagah Putih dan Agung Sedayu terlibat dalam perang antara Mataram dan Pati. Namun ternyata bahwa di padepokan kecil itu terdapat empat orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Ki Widura pun segera memperkenalkan mereka, bahwa mereka adalah para pengungsi yang menyingkir dari para prajurit Pati, yang kadang-kadang bersikap bermusuhan dengan orang yang tidak bersedia membantu mereka memusuhi Mataram. “Siapakah Angger berdua ini?“ bertanya Ki Lurah Wiranata, salah seorang dari keempat orang pengungsi itu. Ternyata Agung Serayu tetap bersikap berhati-hati, justru karena tugasnya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku kemenakan Ki Widura, Ki Sanak. Sedang adik sepupuku ini adalah putra Paman Widura sendiri.” “O,“ orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya pula, “Sekarang Angger tinggal dimana?” “Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Istriku orang Tanah Perdikan itu. Sementara ini aku-lah yang menggarap sawah dan ladangnya, warisan dari orang tuanya.” Ternyata Ki Widura tanggap akan sikap Agung Sedayu. Iapun sudah menduga bahwa Agung Sedayu tentu sedang mengemban tugas penting, sehingga ia tidak dapat menyebut kenyataan tentang dirinya kepada orang yang memang belum begitu dikenalnya. Karena itu, maka justru iapun berkata, “Sementara ini anakku ikut bersamanya untuk membantunya.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Meskipun agaknya tersimpan beberapa pertanyaan lagi, namun orang itu sudah tidak bertanya lebih jauh. Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam satu malam di padepokan kecil itu. Ketika keduanya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Ki Widura sendiri, keduanya telah mengatakan tugas apa yang sebenarnya sedang mereka pikul itu. “Hati-hatilah,“ pesan Ki Widura, “dalam suasana dan persiapan perang, para prajurit kadang-kadang menjadi kehilangan kesempatan untuk merenungi langkah-langkah yang mereka ambil. Mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan, justru karena mereka sendiri selalu merasa terancam.” “Ya, Paman,“ jawab Agung Sedayu. Namun dalam pada itu Glagah Putih bertanya, “Dimana kuda-kuda kita akan kita tinggalkan selama kita pergi ke Pati? Rencana kami kuda-kuda itu akan kami tinggalkan disini. Tetapi dengan demikian tentu akan menimbulkan pertanyaan pada keempat orang itu.” “Memang mungkin. Sementara itu aku juga masih belum dapat mengatakan apakah mereka benar-benar dapat dipercaya. Mereka nampaknya memang benar-benar menyingkir dari tekanan para prajurit Pati. Sementara itu, selama mereka di sini, mereka juga tidak berbuat sesuatu.” “Meskipun demikian, bukankah kita harus berhati-hati, Ayah?” “Ya,“ Ki Widura mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi biarlah kuda-kuda itu di sini. Mereka tidak akan tahu kemana kalian pergi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah, Paman. Kami akan meninggalkan kuda-kuda kami di sini. Kami berharap bahwa orang-orang itu benar-benar orang yang sedang mengungsi, sehingga tidak mempunyai niat buruk, terutama kepada Mataram. Kemudian kami pun yakin bahwa mereka tidak akan tahu, kemana kami akan pergi.” Keesokan harinya, ketika keduanya minta diri untuk meneruskan perjalanan, Agung Sedayu dan Glagah Putih mengatakan bahwa mereka hanya akan melihat-lihat rumah mereka di Jati Anom dan Banyu Asri. Demikianlah, Agung Sedayu pun sudah mulai menempuh perjalanan mereka yang panjang dengan tugas yang berat pula. Glagah Putih menganggap bahwa perjalanan itu merupakan bagian dari laku yang harus ditempuhnya untuk menyempurnakan ilmunya. Ia akan mendapatkan banyak pengalaman yang akan berarti dalam hidupnya kelak. Karena itu, Glagah Putih Justru merasa bahwa tugas itu merupakan satu keberuntungan baginya. Langit yang bersih dan sinar matahari pagi yang menyiram batang padi di sawah, membuat pagi itu menjadi cerah. Embun yang bergayutan di ujung-ujung daun mulai menguap ketika panas matahari menyentuhnya. Meskipun perang setelah selesai, tetapi sawah yang terbentang luas itu masih belum digarap dengan baik. Masih ada kotak-kotak sawah yang masih belum dibersihkan dari rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela batang padi. Di jalan-jalan masih belum nampak banyak orang yang berjalan hilir mudik. Baru satu dua orang yang berjalan dengan tergesa-gesa melintasi bulak yang panjang. Dengan demikian, jalan bulak yang panjang itu masih terasa sangat lengang. Ketika seorang laki-laki yang sudah separuh baya lewat mendahului mereka berdua, Agung Sedayu pun berusaha berjalan di sampingnya, sementara Glagah Putih pun melangkah dengan langkah-langkah panjang di belakangnya. Ternyata orang yang sudah separuh baya itu nampak menjadi sangat gelisah. Beberapa kali ia berpaling. Kemudian memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. “Ki Sanak,“ sapa Agung Sedayu kemudian, “apakah aku boleh bertanya serba sedikit sambil berjalan bersama?” Orang itu nampak ragu-ragu. Namun ketika beberapa kali ia memandang wajah Agung Sedayu dan Glagah Putih, agaknya telah terjadi perubahan sikap batinnya terhadap kedua orang yang berjalan di sebelahnya itu. Meskipun masih dengan ragu, tetapi orang itu justru bertanya, “Apa yang akan kau tanyakan?” “Kenapa jalan yang cukup lebar, rata dan nampaknya terpelihara ini menjadi demikian sepi dan lengangnya?” “Banyak orang yang pergi mengungsi Ki Sanak,“ jawab orang yang sudah separuh baya itu. “Bukankah perang sudah selesai? Apakah mereka masih belum kembali dari pengungsian?” “Sebagian memang sudah. Tetapi sebagian memang belum. Sawah itu pun nampak ada yang sudah dipelihara dengan tertib, tetapi masih ada yang belum dijamah sejak kami pergi mengungsi.” “Kenapa masih ada yang belum bersedia kembali? Bukankah sudah tidak ada yang ditakuti lagi?” “Segala-galanya belum mapan di sini, Ki Sanak. Memang sebagian prajurit telah kembali. Tetapi jumlahnya nampaknya masih belum memadai. Karena itu, masih ada orang-orang jahat yang berani memanfaatkan keadaan ini untuk mencari kekayaan buat diri sendiri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa setelah perang akan banyak persoalan yang timbul. Orang-orang yang pada dasarnya mempunyai watak dan sifat yang kurang baik, suasana setelah perang akan dapat mendorongnya untuk melakukannya lagi. Apalagi jika orang-orang itu menjadi kekurangan, atau pada dasarnya memang belum menghentikan kegiatannya itu. Dalam pada itu, setelah beberapa saat mereka berjalan bersama, orang itu pun kemudian berkata, “Rumahku di padukuhan yang nampak itu. Karena itu, di simpang tiga itu aku akan berbelok ke kanan.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “silahkan Ki Sanak. Aku akan berjalan terus.” Ketika orang itu berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan terus. Namun orang itu sempat berpesan, “Berhati-hati. Semakin jauh Ki Sanak berjalan, maka jalan-jalan akan menjadi semakin sepi. Banyak padukuhan masih kosong. Bahkan agak jauh ke utara, keadaan masih terlalu gawat.” “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Para prajurit Pati yang terdesak mundur, nampaknya mengalami kesulitan di sepanjang perjalanan mereka. Kakakku yang datang dari utara mengatakan, bahwa masih ada kelompok-kelompok kecil prajurit Pati yang menelusuri jalan kembali. Di sepanjang jalan mereka harus mendapatkan makanan dan minuman. Tetapi kadang-kadang mereka tidak sekedar ingin makanan dan minuman, tetapi juga perhiasan dan barang-barang berharga lainnya.” “Mereka tentu bukan prajurit Pati,“ jawab Agung Sedayu. “Lalu, bagaimana aku harus menyebut, jika mereka pergi ke selatan bersama pasukan yang dipimpin sendiri oleh Kanjeng Adipati Pragola?” “Prajurit Pati yang sebenarnya, jumlahnya tidak mencukupi. Karena itu Kanjeng Adipati Pati telah mengumpulkan orang laki-laki yang tinggal di sebelah utara Gunung Kendeng. Nah, laki-laki yang berasal dari daerah yang demikian luasnya itu, tentu ada di antaranya yang kehilangan pegangan ketika mereka mengalami kesulitan.” Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil melangkah melanjutkan perjalanan lewat jalan yang lebih sempit, “Namun bagaimanapun juga, kalian harus berhati-hati.“ “Baiklah Ki Sanak. Terima kasih atas peringatan Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meneruskan perjalanan mereka. Ketika mereka lapar dan haus, ternyata mereka sangat sulit untuk menemukan sebuah kedai yang membuka pintunya. Namun akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putih berhasil menemukan sebuah kedai yang meskipun kecil, namun agaknya mencukupi kebutuhan sekedar untuk mengobati haus dan lapar. Apalagi Agung Sedayu dan Glagah Puth telah terbiasa makan sederhana. Sementara itu, matahari telah mulai turun. Sinarnya bagaikan membakar ikat kepala. Di kejauhan nampak bayangan ndeg amun-amun, sejak matahari menjadi semakin rendah. Tetapi demikian keduanya memasuki kedai itu, maka terasa satu suasana yang lain. Beberapa orang sudah duduk di dalam kedai itu. Di hadapan mereka sudah dihidangkan mangkuk-mangkuk minuman. Namun agaknya mereka sudah cukup lama duduk di kedai itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih mencoba untuk tidak menghiraukan mereka. Keduanya hanya ingin makan dan minum. Tidak lebih. Seorang yang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan jambang, kumis dan janggut yang pendek tetapi tebal, melangkah mendekati keduanya. Bajunya yang terbuka memperlihatkan dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Sebuah luka goresan menyilang di antara bulu-bulu dadanya itu. Dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan seorang yang berjualan makanan dan minuman, orang itu bertanya, “Kalian mau minum dan makan apa?” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Digamitnya Glagah Putih yang hampir saja bangkit. Anak itu nampak tersinggung melihat sikap penjual di kedai itu. Agung Sedayu-lah yang kemudian menjawab, “Kami minta wedang sere saja Ki Sanak. Kemudian nasi dua mangkuk.” Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian menuang wedang sere ke dalam dua buah mangkuk. Menyenduk nasi, dengan sayur lodeh kluwih dan sepotong ikan ayam, dan sebungkus bothok mlandingan. Tanpa berkata apa-apa pula, orang itu menyodorkan pesanan itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Minum dan makanlah,“ desis Agung Sedayu kepada Glagah Putih, yang menjadi semakin tidak senang terhadap sikap penjual di kedai itu. Tetapi ia tidak membantah. Sebagaimana Agung Sedayu, Glagah Putih pun menghirup minumannya. Wedang sere dan gula kelapa, sehingga tubuh Glagah Putih menjadi semakin segar. Namun ketika Glagah Putih akan mulai makan nasi dengan sayur lodehnya, Agung Sedayu memegang pergelangan tangan Glagah Putih. “Kau tidak usah makan. Biar aku saja yang makan,“ bisik Agung Sedayu. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Agung Sedayu itu mengangguk kecil. Glagah Putih pun segera tanggap. Tentu ada sesuatu yang gawat, sehingga kakak sepupunya itu melarangnya makan. Yang segera terkilas di kepalanya adalah racun. Nasi itu tentu mengandung racun, sementara kakak sepupunya itu tawar akan segala macam racun dan bisa. Pemilik kedai yang bertubuh tegap gelisah karena Glagah Putih tidak ikut makan nasi lodeh yang telah dihidangkan. Karena itu, orang itu pun kemudian melangkah medekati Glagah Putih sambil bertanya, “Kenapa kau tidak makan Anak Muda?” “Aku masih kenyang, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. “Tetapi kenapa kalian memesan dua mangkuk nasi, jika kau masih kenyang?” “Kakakku ini terbiasa makan terlalu banyak. Ia akan menghabiskan dua mangkuk nasi dengan sayur lodeh itu.” “Kau jangan menyinggung perasaanku. Masakan kami sudah terkenal di seluruh daerah ini. Jika kau tidak mau makan, maka kau telah menghina kami.” “Maaf, Ki Sanak. Aku memang tidak lapar.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seseorang yang ada di kedai itu memberinya isyarat untuk mendekat. Orang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan bulu-bulu lebat di dadanya itu pun mendekati orang yang memanggilnya itu. Agung Sedayu yang curiga segera mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu, meskipun diucapkan sangat perlahan-lahan. Seorang yang berwajah gelap berdesis lemah, “Biarkan saja. Jika yang seorang mati, anak itu tidak akan berdaya.” Namun seorang yang lain berdesis, “Kita juga tidak yakin keduanya membawa barang-barang berharga. Apa yang ada pada mereka, tidak cukup untuk mengupah menggali dua lubang kubur.” Mereka pun kemudian terdiam. Sementara orang yang bertubuh tegap dan berdada bidang itu kembali ke tempatnya tanpa bertanya apa-apa lagi kepada Glagah Putih. Sementara itu Agung Sedayu telah selesai makan. Ia sadar sepenuhnya, bahwa nasi itu memang mengandung racun. Namun kekebalan tubuhnya terhadap racun dapat mengatasinya, sehingga racun itu sama sekali tidak menimbulkan akibat apapun bagi tubuhnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus semakin berhati-hati. Jika racun itu tidak berhasil membunuh mereka, maka orang-orang itu tentu akan mempergunakan kekerasan untuk membunuh keduanya. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah selesai makan. Tetapi masih ada semangkuk nasi yang belum dimakan. Semangkuk nasi yang seharusnya dipesan bagi Glagah Putih. Orang-orang lain yang ada di kedai itu mulai menjadi gelisah. Orang yang makan dan menghabiskan semangkuk nasi itu masih tetap duduk di tempatnya. Ketika ia meneguk wedang serenya, ia masih tetap kelihatan segar. Racun yang tertelan bersama nasi yang dihidangkannya, nampaknya masih belum berpengaruh atasnya. Pemilik kedai itu mulai berkeringat. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan penjual nasi dan orang-orang lain yang ada di kedai itu. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu pun berkata, “Ternyata aku tidak dapat menghabiskan dua mangkuk nasi ini. Ketika aku memesan dua mangkuk, aku kira setiap mangkuk nasi tidak sebanyak ini.” Penjual nasi itu tidak sabar lagi. Racun di nasi yang dihidangkan ternyata tidak membunuh orang itu. Meski pun demikian orang itu sempat menjadi ragu. Tetapi ia merasa yakin bahwa ia sudah menaburkan racun itu di atas nasi sebelum diberinya sayur lodeh dan lauk-pauknya. “Apakah orang ini kebal racun?” orang itu bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia mempunyai alasan untuk memulai dengan pertengkaran. Karena itu, maka iapun melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dengan kasar ia berkata, “Kalian atau salah seorang dari kalian harus menelan nasi yang sudah kalian pesan.” “Bukankah itu tidak perlu, Ki Sanak?“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi aku akan menderita rugi. Jika kalian tidak makan nasi itu, lalu buat apa?” “Jangan merasa dirugikan. Aku akan membayar harganya,“ jawab Agung Sedayu pula. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kalian sudah menghina kami. Sudah aku katakan, bahwa masakanku dan istriku telah dikenal di daerah ini. Jika kalian memesannya dan tidak memakannya, itu berarti bahwa kalian telah merendahkan kemampuan kami.” “Ki Sanak. Aku bukannya baru sekali ini masuk ke dalam sebuah kedai. Tetapi aku tidak pernah mengalami perlakuan seperu ini,“ berkata Agung Sedayu. “Aku tidak peduli. Tetapi aku benar-benar merasa tersinggung dengan tingkah laku kalian.” “Sudahlan. Jangan berputar-putar. Apa sebenarnya yang kalian kehendaki?” Wajah orang itu menjadi tegang, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Kau tentu mempunyai maksud buruk terhadap kami. Bahkan mungkin terhadap banyak orang yang telah singgah di kedaimu ini. Mungkin di belakang kedai ini terdapat sebuah kuburan yang luas tanpa pertanda apapun juga. Orang-orang yang mati karena kau racun, akan kau kubur di belakang kedai ini, atau di tempat lain yang jarang dikunjungi orang.” “Setan kau. Apa yang kau bicarakan itu?“ geram orang bertubuh tegap dan berbulu di dadanya itu. “Kita bukan anak-anak lagi. Buat apa kita harus berpura-pura? Katakan saja bahwa kau telah meracun kami berdua. Agaknya kau mempergunakan kesempatan selagi tatanan kehidupan belum mapan setelah terjadi perang. Mungkin kau berpikir, bahwa membunuh dalam suasana seperti ini sekedar untuk mendapatkan timang emas atau perak, pendok keris atau apapun juga, tidak akan ada yang mengurus, apalagi menangkap dan menghukum.” “Cukup,” orang yang semula duduk di kedai itu pun bangkit berdiri. Tiga orang yang garang. Wajah-wajah mereka geram memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Serahkan semua kekayaan yang ada padamu. Timang dan mungkin uang, cincin yang kau pakai dan segalanya.” Agung Sedayu itu pun menjawab sambil menjulurkan tangannya, “Nah, kau lihat. Aku tidak mengenakan cincin. Adikku juga tidak. Timang di ikat pinggangku pun tidak terbuat dari perak, apalagi emas. Timangku terbuat dari tembaga. Buatannya pun keras. Uang, aku hanya membawa secukupnya. Barangkali hanya cukup untuk membayar nasi dan minuman yang kami pesan, meskipun kau bubuhi racun di atasnya.” “Aku tidak peduli. Tetapi kau sudah mengetahui apa yang kami lakukan di sini. Karena itu, kau dan adikmu akan mati. Kalian akan aku kubur di belakang kedai ini. Meskipun kau tidak mempunyai barang-barang berharga, tetapi kau tidak boleh meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, karena mulutmu akan berbicara kepada banyak orang tentang kedai kami ini.” “Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “biarlah kami pergi. Kami berjanji bahwa kami tidak akan mengatakan apapun juga tentang kedai ini.” “Tidak,“ geram salah seorang di antara mereka, “satu-satunya kemungkinan terbaik bagi kalian adalah menyerahkan leher kalian. Karena dengan demikian, kalian akan dengan cepat mati. Tetapi jika kalian berusaha untuk melawan, maka kalian akan memperpanjang kesengsaraan kematian kalian.” “Kami adalah pengembara yang sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan seperti ini. Karena itu, jangan berharap bahwa kami akan menyerah,“ jawab Agung Sedayu. Keempat orang itu nampaknya tidak sabar lagi. Ketika keempatnya melangkah mendekat, maka Agung Sedaya dan Glagah Putih pun segera mengambil jarak di atara amben-amben bambu yang ada. bersambung ♦ 15 Juli 2010 Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan keduanya. Tetapi bukankah Mataram nampaknya juga dalam keadaan tenang?” Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, “Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian, mendung yang mengalir dari Pati masih tetap memungkinkan untuk mencurahkan hujan angin dan prahara.” Karena itulah, maka ketika Agung Sedayu kemudian berada di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka iapun segera menemui Glagah Putih dan Sabungsari. Ketika Agung Sedayu menanyakan kepada kedua orang anak muda itu, maka baik Glagah Putih maupun Sabungsari menyatakan keinginan mereka untuk pergi ke Tanah Perdikan. Ternyata keduanya mempunyai alasan mereka masing-masing. Justru karena Rara Wulan akan kembai ke Tanah Perdikan, maka Glagah Putih pun ingin untuk sementara tetap berada di Tanah Perdikan. Sementara Sabungsari yang masih dikuasai oleh penalarannya, maka ia memang berniat untuk meninggalkan Mataram, agar ia tidak memasuki satu lingkaran hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Meskipun dengan jujur ia harus mengakui, setidaknya kepada diri sendiri, bahwa ia memang tetarik kepada gadis yang bernama Raras itu. Tetapi justru karena itu, maka nalarnya telah mendesaknya untuk meninggalkan Mataram dan menjauhi Raras. Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Kecuali jika Mataram memerlukan tenaga kami. Kami tidak akan ingkar, seandainya kami harus berada di antara anak-anak Gajah Liwung.” “Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan memberitahukan kepada Ki Wirayuda, bahwa kalian berdua untuk sementara akan berada di Tanah Perdikan. Tetapi jika diperlukan akan kembali ke Mataram.” “Ya,“ Sabungsari-lah yang menyahut, “bukankah sekarang keadaan Mataram sedang tenang? Sepeninggal Ki Manuhara, agaknya orang yang disebut Resi Belahan itu tidak lagi berniat untuk melanjutkan tugas-tugasnya di Mataram. Tetapi seperti kata Glagah Putih, jika diperlukan kami akan berada di Mataram kembali.” Glagah Putih memang sempat menjadi heran. Ia mengira bahwa Sabungsari telah tertarik kepada Raras. Namun ia berkeras untuk pergi bersama Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh. Sudah barang tentu Glagah Putih tidak dapat langsung bertanya kepada Sabungsari. Tetapi Glagah Putih harus menyimpannya sebagai teka-teki yang belum terjawab. Dengan demikian maka untuk sementara Agung Sedayu telah mengambil kesimpulan bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setiap saat jika diperlukan, mereka akan segera berada kembali di Mataram, yang memang tidak terlalu jauh itu. Demikinlah, maka niat Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan itu pun segera disampaikan kepada Ki Tumenggung Perbarumeksa sekeluarga. Agung Sedayu memang tidak dapat terlalu lama meninggalkan tugasnya. Ternyata Ki Lurah Branjangan sependapat. Katanya, “Pasukan Khusus itu memang tidak dapat telalu lama ditinggalkan.” Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung memang tidak dapat terlalu lama menahan mereka di Mataram. Mereka menyadari tugas Agung Sedayu sebagai seorang Lurah Prajurit. Karena itu maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Baiklah Ki Lurah. Kami mengerti akan tugas Ki Lurah yang berat. Karena itu maka kami tidak dapat menahan Ki Lurah lebih lama lagi, meskipun kami merasa aman dengan kehadiran Ki Lurah, Ki Jayaraga dan anak-anak muda itu.” “Aku sudah berhubungan dengan Ki Wirayuda. Ki Wirayuda akan berusaha untuk mengamati keadaan sebaik-baiknya. Bukan saja tentang Bajang Bertangan Baja yang menerima upah untuk mengambil Rara Wulan. Tetapi juga mengamati seorang yang bernama Resi Belahan. Jika perlu, maka Ki Wirayuda akan dengan segera menghubungi kami.” “Terima kasih Ki Lurah. Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada persoalan baru lagi yang dapat menyulitkan kami sekeluarga, dan bahkan telah menjerat Ki Lurah dalam persoalan ini sehingga Ki Lurah terpaksa meninggalkan tugas Ki Lurah.” “Aku memang sulit untuk membedakan tugasku sebagai seorang yang hidup dalam lingkungan keluarga yang besar, serta tugasku sebagai prajurit, karena pada keduanya terdapat persamaan. Pada dasarnya dalam kehidupan ini harus terpancar kasih sayang Yang Maha Agung. Yang mempunyai kelebihan harta benda, harus ikut menanggung beban mereka yang miskin. Yang kaya akan ilmu harus mengaliri mereka yang hidup dalam kebodohan. Yang kuat harus melindungi yang lemah. Sebagaimana air di blumbang yang penuh akan tumpah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, serta akan membasahi tempat yang kering.” Ki Tumenggung Purbarumeksa hanya mengangguk-angguk saja. Namun hatinya ternyata tergetar juga mendengar kata-kata Agung Sedayu yang masih jauh lebih muda dari dirinya sendiri. Tetapi nampaknya pengalaman hidupnya yang luas telah membuat jiwanya menjadi matang. Namun demikian Ki Tumenggung itu masih juga berdesis, “Benar Ki Lurah. Tetapi di antara citra seorang yang terpilih itu masih terdapat orang yang berbuat sebaliknya.” “Ya Ki Tumenggung. Kita memang tidak mengingkari kenyataan itu. Mudah-mudahan orang yang demikian itu semakin lama kan menjadi semakin menyusut.” “Mudah-mudahan Ki Lurah. Tetapi sampai saat ini kita masih melihat kesewenang-wenangan terjadi di antara sesama. Yang kaya justru menghisap yang kekurangan. Sementara yang kuat justru berdiri di atas tubuh-tubuh yang tak berdaya. Aku tidak dapat mengatakan dimana keluargaku berdiri sekarang ini.” Agung Sedayu menari nafas dalam-dalam. Pembicaraan mereka ternyata jauh merambat ke persoalan yang lebih luas. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Asal kita masih berpegang kepada Sumber Hidup kita, maka kita tidak akan terlalu jauh tersesat, seandainya pada suatu saat kita kehilangan jalan. Setiap kali kita akan mendapat peringatan, dan lebih dari itu bimbingan, untuk menemukan jalan kita kembali,” Ki Tumenggung masih saja mengangguk-anguk. Meskipun umurnya lebih tua dan kedudukan serta pangkatnya pada dasarnya lebih tinggi dari Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia justru bersikap seperti seorang cantrik yang berbicara sesamanya. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya. Demikian pula Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan, Glagah Putih, Sabungsari, Rara Wulan dan Sekar Mirah. Namun esok pagi-pagi mereka masih akan minta diri kepada Raras. Dan bagi Agung Sedayu, ia masih akan bertemu lagi dengan Ki Wirayuda. Malam itu Teja Prabawa sempat berbicara dengan Rara Wulan. Dengan memelas Raden Teja Prabawa minta agar Rara Wulan bersedia membujuk Raras untuk tidak menilainya sebagai seorang laki-laki yang lemah dan tidak bertanggung jawab. “Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiannya,” berkata Teja Prabawa. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku akan mencobanya Kakangmas. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa kau akan berubah. Tetapi segala sesuatunya tentu tergantung kepada Raras sendiri.” “Katakan kepadanya, bahwa aku akan berguru dan akan menjadi seorang yang berilmu tinggi,” berkata Teja Prabawa. “Bagi seorang perempuan, yang penting bukan laki-laki yang berilmu tinggi. Tetapi seorang laki-laki yang bertanggung jawab menurut keadaannya. Meskipun demikian, ilmu memang merupakan bekal yang sangat berarti bagi kehidupan keluarga Kakangmas kemudian. Karena itu maka biarlah aku mengatakan kesediaan Kakangmas untuk mencari bekal bagi masa depan Kakangmas,” jawab Rara Wulan. “Terima kasih Wulan,” jawab Teja Prabawa. “Tetapi kenapa Kakangmas tidak pergi menengok Raras di hari-hari terakhir ini?” bertanya Rara Wulan. “Kau tahu bahwa jalan-jalan menjadi tidak aman. Bukankah kau juga bertemu dengan Bajang Bertangan Baja itu ketika kau akan pergi mengunjungi Raras? Untunglah bahwa kau pergi bersama orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga Bajang Bertangan Baja itu tidak berani berbuat sesuatu atasmu. Coba bayangkan, bagaimana akibatnya jika aku-lah yang bertemu dengan Bajang kedil itu,” berkata Raden Teja Prabawa. “Tetapi Bajang itu telah pergi,” jawab Rara Wulan. “Bukankah ada sebuah nama lagi yang perlu mendapat perhatian?” Raden Teja Prabawa justru bertanya. “Tetapi orang itu sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Raras dan dengan kita secara pribadi. Orang itu tentu membawa beban tugas yang lebih luas dari sekedar menculik gadis-gadis. Ternyata ia telah menolak bekerjasama dengan Bajang Bertangan Baja.” “Tetapi aku tidak berani, Wulan,“ Teja Prabawa akhirnya mengaku terus terang. “Itulah yang membuat Raras kecewa terhadap Kakangmas. Kenapa Kakangmas tidak berani? Bukankah menurut perhitungan, Kakangmas tidak akan mendapatkan hambatan di perjalanan? Seandainya Bajang itu masih ada, maka kemungkinan bertemu dengan orang itu pun sangat kecil. Kakangmas bisa menempuh jalan yang tidak biasa Kakangmas lalui, atau Kakangmas memilih jalan yang paling ramai. Bukankah dalam keadaan terakhir ini banyak prajurit yang meronda?” Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi memang ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk pergi ke rumah Raras. Bahkan ia berfikir, bahwa jika ia akan pergi juga, artinya sama saja dengan jika ia membunuh diri. Ketika kemudian matahari terbit di hari berikutnya, maka mereka yang akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah bersiap-siap. Namun mereka masih akan pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa. Tetapi Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari akan meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan di rumah Ki Rangga Wibawa, sementara mereka pergi ke rumah Ki Wirayuda. Baru kemudian mereka akan singgah kembali untuk mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kedatangan Rara Wulan dan Sekar Mirah membuat Raras merasa semakin segar, meskipun ia nampak sedikit kecewa bahwa yang lain tidak singgah lebih dahulu di rumahnya. Tetapi Rara Wulan segera memberitahukan bahwa mereka nanti akan segera kembali dan singgah di rumah Raras. “Mereka sedang pergi menemui Ki Wirayuda untuk memohon diri,“ berkata Rara Wulan kemudian. “Mohon diri? Mereka akan pergi kemana?“ bertanya Raras yang menemui tamu-tamunya ditemani oleh ayah dan ibunya, serta Wacana. “Mereka dan kami berdua hari ini akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Rara Wulan. Wajah Raras tampak berkerut sejenak. Terbayang betapa jantungnya bergejolak mendengar jawab Rara Wulan itu. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Semuanya kalian akan kembali ke Tanah Perdikan?” “Ya,“ jawab Rara Wulan. Sementara Sekar Mirah pun menyambung, “Kami sudah terlalu lama meninggalkan rumah kami. Apalagi Kakang Agung Sedayu juga sudah terlalu lama meninggalkan tugasnya di barak Pasukan Khusus itu.” Raras menjadi termangu-mangu sejenak. Dengan ragu iapun berkata, “Tetapi bukankah yang lain tidak bertugas di lingkungan keprajuritan?” Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dan kemudian Sekar Mirah menjawab, “Ya. Tetapi mereka mempunyai kewajibannya masing-masing di Tanah Perdikan.” Pada wajah Raras memang membayang kekecewaan hatinya. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, seakan-akan kepada diri sendiri, “Siapakah yang kemudian akan melindungi aku?“ Yang menjawab adalah justru Wacana, “Raras. Di sini ada Paman dan prajurit. Bahkan aku pun bersedia dan sanggup melindungimu. Siapapun yang akan mengganggumu.” Raras berpaling kepada Wacana sejenak. Dengan ragu ia mengangguk kecil. Sementara ayahnya pun berkata, “Sudah berkali-kali aku katakan Raras. Para Prajurit itu masih ada di sini, sementara Ki Wirayuda meyakinkan, bahwa Bajang Bertangan Baja itu memang sudah tidak terlihat lagi di Mataram. Para petugas sandi melakukan tugas mereka dengan baik dan bersungguh-sungguh sehinga kita dapat mempercayainya. Jika kita kehilangan kepercayaan kepada para prajurit, maka hidup kita memang tidak akan dapat tenang. Kita akan selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran tentang kejahatan. Bukan saja sebagaimana kau alami, tetapi juga perampokan dan kekerasan-kekerasan lainnya.” Raras mengangguk pula meskpun pandangan matanya menjadi kosong. Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan hilang daripadanya. Sesuatu yang justru belum pernah dimilikinya. Dengan demikian, jiwanya yang hampir tenang itu telah diguncang lagi oleh perasaan kecewa, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Meskipun Raras mengeluh karena kehilangan perlindungan, namun sebenarnyalah ia merasa betapa cepatnya orang yang datang kepadanya untuk menyelamatkannya itu pergi meninggalkannya. Tetapi Raras tidak dapat mengatakanya kepada kedua orang tuanya bahwa sebenarnya ia memang merasa kehilangan. Teruatama orang yang telah langsung melidunginya di Tegal Waru. Sikap Raras pun kemudian memang berubah. Betapapun gadis itu berusaha untuk menghilangkan kesan yang muncul ke permukaan, namun orang-orang yang duduk bersamanya itu mampu menangkapnya. Justru karena itu, maka mereka pun telah menjadi gelisah pula. Sementara itu, maka Rara Wulan yang membawa pesan kakaknya, memang ingin menyampaikan kepada Raras. Tetapi rasa-rasanya ia menjadi ragu. Apakah jika hal itu dikatakannya, Raras tidak justru menjadi semakin gelisah. Meskipun demikian, Rara Wulan memang mencobanya, meskipun hanya menyinggung-nyinggung serba sedikit. Ketika ia berkesempatan, maka Rara Wulan pun berkata, “Raras, Kakangmas Teja Prabawa mengirimkan salam buatmu. Ia belum dapat datang karena sesuatu hal.” Dahi Raras berkerut. Tanpa sengaja Raras telah berpaling kepada Wacana yang mendengar pesan itu sambil termangu-mangu. Baru sejenak kemudian Raras menjawab, “Terima kasih Wulan. Tetapi kenapa Raden Teja Prabawa tidak berani datang kemari? Bukankah ia tidak harus melewati bulak-bulak panjang yang sepi yang dihuni oleh kelompok-kelompok penyamun?” “Raras,“ potong ayahnya yang duduk di sebelahnya. Raras berpaling kepada ayahnya. Jawabnya, “Benar Ayah. Raden Teja Prabawa tidak memiliki keberanian untuk datang ke rumah ini. Bukannya rumah ini yang menakut-nakutinya. Tetapi ia tidak berani menempuh perjalanan yang hanya beberapa pathok itu. Bahkan di siang hari di jalan-jalan yang ramai di Kota Mataram.” “Jangan berkata begitu Raras,” tiba-tiba saja Wacana berdesis, “mungkin Raden Teja Prabawa sedang sibuk.” Raras memandang Wacana dengan tajamnya. Pandangan matanya yang aneh. Ia mendengar hal itu dari Wacana. Tetapi Wacana-lah yang kemudian justru menolak anggapan itu. Rara Wulan dan Sekar Mirah memang tidak mengerti, apa yang tersirat di sorot mata tajam Raras yang menusuk langsung ke mata Wacana. Tetapi Ki Rangga Wibawa segera mengerti dan tanggap akan sikap Wacana itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah Raras. Sikapmu akan dapat menimbulkan salah paham.” Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Aku yang memintakan maaf bagi Raras, Ngger.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa Ki Rangga. Kami dapat mengerti perasaan Raras yang sangat kecewa, di saat ia benar-benar dicekam ketakutan.” Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa keluarganya berhadapan dengan orang-orang yang mampu berpikir dewasa, meskipun di antara mereka termasuk orang-orang yang masih muda. Bahkan adik dari Raden Teja Prabawa itu sendiri. Sementara itu, Raras yang sudah nampak semakin cerah, tiba-tiba telah menjadi murung lagi. Matanya menjadi redup. Ia kecewa bahwa orang-orang yang telah menolongnya itu akan meninggalkan Mataram. Tetapi iapun menjadi gelisah bahwa Wacana sikapnya terasa goyah, khususnya terhadap Raden Teja Prabawa. Dalam pada itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari telah bertemu dan minta diri kepada Ki Wirayuda. Meskipun demikian Agung Sedayu masih mengulangi kesediaannya untuk datang sewaktu-waktu diperlukan. Demikian pula mereka yang lain. Terutama Glagah Putih dan Sabungsari, yang selalu siap untuk berada di antara anak-anak Gajah Liwung. “Baiklah,“ berkata Ki Wirayuda, “mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi di Mataram dalam hubungannya dengan Bajang Bertangan Baja dan Resi Belahan.” “Yang masih tetap menjadi teka-teki adalah Resi Belahan,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kami akan berhati-hati menanganinya,“ berkata Ki Wirayuda. “Bahkan Ki Patih Mandaraka sendiri sudah memberikan isyarat untuk meningkatkan kewaspadaan.” Dengan demikian maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun segera minta diri. Mereka masih harus singgah di rumah Ki Rangga Wibawa untuk minta diri dan mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kepada Ki Wirayuda, Sabungsari sempat menitipkan anak-anak Gajah Liwung yang untuk sementara masih harus ditinggakannya. “Seandainya,“ berkata Ki Wirayuda, “seandainya tidak ada masalah lagi di Tanah Perdikan Menoreh, bukankah Sabungsari dan Glagah Putih dapat segera kembali ke Mataram tanpa harus menunggu timbulnya persoalan di sini?” Sabungsari tersenyum. Katanya, “Tentu Ki Wirayuda. Kami akan merasa lebih tenang berada di antara anak-anak Gajah Liwung.” Tetapi dalam pada itu, di dalam hatinya Sabungsari mengeluh. Perkenalan dengan Raras telah membuatnya seperti orang yang kebingungan. Ia harus mempertentangkan perasaannya dengan penalarannya. Sabungsari tidak dapat ingkar bahwa ia tertarik kepada Raras. Tetapi iapun mengerti bahwa Raras telah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa. Ketika keempat orang itu memasuki regol halaman rumah Ki Rangga Wibawa, maka wajah Raras yang murung itu telah menjadi sedikit terang. Bahkan tanpa disadari, Raras telah ikut bersama ayah dan ibunya bangkit berdiri dan menyongsong tamu mereka di tangga pendapa. Wacana yang semula masih saja duduk bersama Rara Wulan dan Sekar Mirah, telah bangkit pula untuk ikut menyambut keempat orang tamu itu. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun telah duduk pula di pendapa, sementara Nyi Rangga beringsut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya. Nyi Rangga bahkan terkejut ketika ternyata Raras menyusulnya ke dapur dan berkata, “Biarlah aku yang menyuguhkan hidangan itu, Ibu.” “Kau tidak apa-apa?“ bertanya ibunya. “Tidak Ibu. Aku tidak apa-apa,” jawab Raras. Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Anak gadisnya itu memang sulit dimengerti. Mungkin karena jiwanya itu belum tenang benar, atau mungkin karena persoalan lain. Baru saja wajahnya yang mulai cerah telah menjadi murung kembali. Namun tiba-tiba saja Raras menjadi seakan-akan tidak sedang dipengaruhi oleh ketidak-seimbangan jiwanya. “Atau justru akibat ketidak-seimbangan jiwa itu Raras menjadi semakin sulit dimengerti?” pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Nyi Rangga. Tetapi Nyi Rangga tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada Raras untuk menyuguhkan hidangan-hidangan bagi tamu-tamunya yang ada di pendapa. Ketika kemudian Raras dan Nyi Rangga telah duduk kembali di pendapa, maka Agung Sedayu, mewakili mereka yang datang bersamanya, mohon diri kepada Ki Rangga dan keluarganya untuk hari itu juga kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Rencana itu sudah didengar sebelumnya dari Rara Wulan. Dengan nada dalam Ki Rangga Wibawa berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk menahan kalian, maka aku akan mencoba untuk memperpanjang keberadaan kalian di Mataram. Tetapi karena aku tidak mempunyai wewenang itu, maka aku tidak dapat berbuat apa-apa.” “Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu jauh Ki Rangga,” berkata Agung Sedayu, “kami tentu akan selalu mondar-mandir antara Tanah Perdikan dan Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Kami berharap bahwa kalian akan selalu singgah di rumah ini dalam setiap kesempatan,“ minta Ki Rangga. “Ya Ki Rangga. Rumah ini sudah menjadi bagian dari lingkungan kekeluargaan kami. Karena itu kami akan selalu berusaha untuk dapat selalu singgah meskipun sebentar.” Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada dalam, “Terima kasih Ki Lurah, terima kasih. Aku kira meskipun setiap kejap aku mengucapkan terima kasih, namun tentu masih belum cukup.” “Itu sudah berlebihan Ki Rangga. Berkali-kali aku katakan, bahwa apa yang kami lakukan adalah kewajiban kami,” jawab Agung Sedayu. Demikianlah, setelah mereka berbincang sejenak, maka Agung Sedayu dan yang lain pun telah minta diri. Bukan saja untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, tetapi mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Wajah Raras telah menjadi murung kembali. Seperti langit yang tiba-tiba saja disaput oleh mendung. Semakin lama menjadi semakin kelabu. Ketika Rara Wulan kemudian turun ke tangga pendapa dan di sisinya Raras berdiri termangu-mangu, Rara Wulan sempat berdesis, “Kakangmas Teja Prabawa tentu akan segera datang. Ia akan mengatasi perasaan takutnya.” Tetapi jawab Raras dingin, “Mudah-mudahan. Tetapi maafkan aku Wulan. Aku sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa.” “Ia berjanji akan berubah,“ sahut Wulan perlahan. “Sampai kapan aku harus menunggu perubahan itu? Aku sudah terlalu tua untuk menunggu ia berguru lagi,“ jawab Raras. Rara Wulan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa kasihan kepada kakaknya. Tetapi ia juga merasa kasihan kepada Raras. Namun ternyata Rara Wulan telah melemparkan sebab dari segala kerumitan itu pada Raden Antal, sehingga ia semakin benci kepada anak muda itu. Sejenak kemudian maka kelompok kecil tamu Ki Rangga Wibawa itu telah meninggalkan regol rumahnya. Seisi rumah itu telah mengantar mereka sampai ke regol. Sabungsari yang ada di antara mereka tidak terlalu banyak berbicara. Bahkan ia justru sering menundukkan kepalanya saja. Hanya sekali-sekali ia menyambung pembicaraan. Selebihnya ia hanya diam saja. Tetapi beberapa langkah dari regol, ternyata Sabungsari berpaling. Di luar niatnya, maka Raras pun sedang memandanginya pula, sehingga tiba-tiba saja keduanya telah menunduk. Seperti yang direncanakan, hari itu Agung Sedayu dengan kelompok kecilnya telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirah dan Rara Wulan berkuda di paling depan, sedangkan Sabungsari berada di paling belakang. Ia memang lebih banyak berdiam diri dan seakan-akan menyendiri. Rara Wulan pun nampaknya banyak merenung pula meskipun tidak di sepanjang perjalanan. Namun kadang-kadang ia merenungkan kakaknya yang mulai tersisih dari hati Raras. Justru karena ia dapat mengerti perasaan Raras dan dapat pula mengerti kepahitan perasaan kakaknya, maka hatinya pun ikut merasakan kegelisahan mereka. Dalam pada itu, sepeninggal adiknya, ternyata Teja Prabawa itu merasakan betapa rumahnya menjadi sepi. Jika adiknya itu ada di rumah, seakan-akan setiap saat mereka itu selalu bertengkar. Tetapi jika adiknya itu pergi, maka Raden Teja Prabawa itu pun merasa semakin sendiri, justru karena sikap Raras kepadanya. Sebelum Rara Wulan meninggalkan rumahnya, maka Rara Wulan serba sedikit telah memberitahukan kepada kakaknya itu. Tetapi Rara Wulan tidak sampai hati untuk mengatakan sebagaimana dikatakan Raras. Ia masih berusaha untuk memperlunaknya, meskipun ia tahu bahwa hal itu hanya dapat menunda kekecewaan saja. Ki Lurah Branjangan yang berada pula di dalam iring-iringan itu juga tidak banyak bicara. Sebagai seorang kakek, ia dapat merasakan betapa Teja Prabawa mengalami goncangan perasaan mirip seperti Raras sendiri. Beberapa lama mereka berkuda, maka mereka pun telah menuruni jalan yang langsung menuju ke tempat penyeberangan. Ternyata mereka memilih menyeberang di penyeberangan sebelah selatan yang agak lebih ramai. Beberapa buah rakit tersedia di sisi sebelah barat dan timur Kali Praga. Ternyata bahwa kelompok kecil orang-orang berkuda itu tidak dapat berada di satu rakit. Sebuah rakit yang siap menyeberang hanya muat tiga orang di antara mereka bersama kudanya. Selebihnya harus mempergunakan rakit yang lain. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan-lah yang lebih dahulu yang menyeberang, bersama-sama dengan beberapa orang yang telah lebih dulu di atas rakit itu. Seorang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal sempat menggerutu, “Kuda-kuda itu sangat mengganggu. Baunya aku tidak tahan.” Agung Sedayu yang duduk tidak terlalu jauh dari oprang itu berdesis, “Kami mohon maaf Ki Sanak. Kami tidak mempunyai cara lain untuk menyeberang.” “Sebaiknya kalian mempergunakan rakit khusus. Tidak bersama-sama dengan penumpang rakit yang lain.” “Aku mengerti Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu. “Apalagi bersama dengan perempuan-perempuan yang berpakaian tidak sewajarnya itu,“ katanya pula. Beberapa orang penumpang yang lain memang sedang memandangi pakaian Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang memakai pakaian khususnya karena mereka menempuh perjalanan berkuda. Wajah Rara Wulan menjadi gelap. Tetapi Sekar Mirah yang lebih tua hanya tersenyum saja. Ia sudah terlalu sering mendengar suara-suara sumbang seperti itu, sehingga akhirnya Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus itu masih berkata, “Sebenarnya kedua perempuan itu cantik. Tetapi kenapa mereka tidak berpakaian dan berias seperti perempuan yang lain?” Agung Sedayu yang menjawab dambil tersenyum, “Sejak kecil mereka senang berpakaian seperti laki-laki. Mereka senang menunggang kuda dan bahkan melakukan perbuatan-perbuatan lain seperti seorang laki-laki. Perempuan yang lebih tua itu adalah seorang tukang blandong. Ia menerima upah untuk menebang pohon-pohon besar dimanapun. Kemudian memotong-motongnya dan membelahnya. Karena itu, maka ia memiliki kekuatan dan bentuk tubuh seorang laki-laki.” “Dan keluarganya tidak melarangnya?” bertanya orang itu. “Aku kakaknya. Aku senang ia dapat membantu aku,” jawab Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya dengan nada tinggi, “Aku tidak percaya. Pakaianmu bukan seorang blandong.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tentu tidak, karena kami baru saja mengunjungi saudara kami yang sedang menyelenggarakan peralatan. Apakah dalam peralatan kami berpakaian seperti tukang blandong?” Orang berpakaian rapi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang Rara Wulan ia bertanya, “Apakah ia juga tukang blandong?” “Ia baru belajar. Adikku yang bungsu itu mempunyai kebiasaan seperti kakaknya juga,” jawab Agung Sedayu. Tetapi orang berpakaian rapi itu berkata, “Tukang blandong tidak akan memiliki seekor kuda seperti kudamu itu. He, kau jangan mempermainkan aku ya?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah bahwa keduanya memiliki sifat sebagai laki-laki.” Orang berpakaian rapi itu termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir tidak berkedip ia selalu memandangi Rara Wulan, sehingga Rara Wulan akhirnya menyadari pandangan mata laki-laki itu, sehingga ia harus berputar dan duduk membelakanginya. Orang itu memang diam, meskipun ia masih saja memandang penggung Rara Wulan. Sikap itu ternyata membuat Sekar Mirah dan Agung Sedayu berdebar-debar. Mungkin saja bahwa persoalan itu akan berkembang setelah mereka turun dari rakit di seberang. Untuk beberapa saat mereka yang ada di atas rakit itu saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafas para tukang satang yang bekerja keras mengayuh rakit itu ke seberang. Tidak jauh di belakang rakit itu, sebuah rakit yang lain juga tengah menyeberang. Di atas rakit itu duduk beberapa orang yang menyeberang bersama dengan kuda tunggangan mereka. Beberapa saat kemudian rakit itu pun telah merapat di tepian sebelah barat. Para penumpangnya segera berloncatan turun. Demkian pula Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Agung Sedayu yang telah hampir melupakan orang berpakaian rapi dan mahal itu, tiba-tiba terkejut ketika orang itu menggamitnya. Hampir berbisik orang itu bertanya, “He, apakah kedua adikmu itu sudah bersuami?” Pertanyaan itu memang mengejutkan Agung Sedayu. Ia melihata sorot mata yang liar di mata orang yang terbungkus oleh pakaian yang rapi dan dibuat dari bahan yang mahal itu. Tetapi Agung Sedayu tidak berubah sikapnya. Iapun kemudian menjawab, “Sudah Ki Sanak. Kedua-duanya sudah bersuami.” “Dimana suaminya?” bertanya orang itu pula. “Di rumah,” jawab Agung Sedayu singkat. “Dimana rumahnya?” bertanya orang itu selanjutnya. “Di Mataram. Keduanya istri prajurit. Lihat, lihat bagaimana ia mengenakan pakaian. Mereka meniru pakaian suami mereka,” jawab Agung Sedayu. Ia berharap dengan demikian maka orang itu tidak bertanya lebih jauh. Tetapi ternyata perhitungan Agung Sedayu keliru. Orang itu tiba-tiba berkata, “Mumpung suami mereka tidak ada. He, aku mempunyai sepasang gelang bermata berlian. Aku akan memberikan kepada mereka berdua.” “Ki Sanak,” Agung Sedayu benar-benar tersinggung, “sebaiknya Ki Sanak jangan membuat kami merasa tersinggung. Kami orang baik-baik yang sudah tentu tidak ingin mendengar kata-kata Ki Sanak seperti itu.” Tetapi orang itu tertawa. Ketika ia berpaling sambil mengangguk, maka dua orang bertubuh raksasa mendekatinya. Sambil bertolak pinggang orang itu bekata, “Aku tidak memaksa Ki Sanak. Jika kalian keberatan, apa boleh buat. Tetapi jangan menjawab kasar begitu. Kau harus tahu dengan siapa kau bebicara sekarang ini.” “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “kami akan meneruskan perjalanan kami. Itu, kawan-kawan kami sudah turun pula dari rakit mereka.” Orang itu berpaling. Dilihatnya beberapa orang meloncat turun. Kemudian menarik kendali kuda turun dari rakit pula. Sejenak orang itu termangu-mangu. Dua orang yang bertubuh raksasa yang tadi juga berada di rakit yang sama, berdiri tegak sambil menggenggam hulu parang mereka yang besar. Orang berpakaian rapi itu mengerutkan dahinya. Orang yang berkuda itu memang membuatnya berpikir ulang. Bukan karena mereka menggetarkan jantungnya. Tetapi justru ia berdesis, “Apakah aku harus membunuh sekian banyak orang?” Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun juga, karena ia mengira bahwa orang itu tentu tidak bersungguh-sungguh. Mungkin hal itu hanya lontaran ungkapan kejengkelannya saja. Karena itu maka Agung Sedayu pun kemudian telah menarik kudanya sambil berkata kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, “Marilah. Kita pergi saja. Kita sudah terlalu siang berangkat.” Tetapi Agung Sedayu justru telah mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan yang sangat lemah sekalipun dari orang yang berpakaian mahal itu. Ternyata orang yang umurnya sudah separuh baya telah berdiri di sebelahnya sambil berkata, “Kau jangan berbuat sekehendakmu sendiri. Pamanmu Resi tidak senang dengan tingkah lakumu itu. Biarkan mereka pergi.” Tetapi orang berpakaian rapi itu menjawab, “Paman Resi tidak akan mengurusi persoalanku dengan perempuan.” “Tetapi kau datang bersamanya untuk kepentingan tertentu. Ingat, bahwa Kakang Resi tidak senang melihat orang yang pernah datang mendahuluinya terlibat dalam persoalan pribadi, khususnya perempuan, sehingga ia sama sekali tidak bersedia membantunya sampai orang itu terbunuh.” Pembicaraan itu memang sangat menarik perhatian Agung Sedayu, yang dapat mendengarnya meskipun hanya sebagian. Tetapi jelas baginya bahwa orang itu mempunyai hubungan dengan seorang yang disebut Paman Resi. Dengan cepat Agung Sedayu menghubungkan sebutan itu dengan nama seseorang yang sedang menjadi pembicaraan orang-orang Mataram. Resi Belahan. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berbalik. Demikian cepat sehingga seseorang tidak sempat berpikir tentang sikapnya itu. Kepada orang yang separuh baya itu Agung Sedayu bertanya, “Kau adik Resi Belahan?” Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu orang itu bertanya, “Siapakah kau?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bahwa orang itu tidak menjawab dengan serta merta bahwa ia tidak mengenal Resi Belahan atau dengan tegas menolak pertanyaan Agung Sedayu itu, telah memperkuat dugaan Agung Sedayu, bahwa orang-orang itu mempunyai sangkut paut dengan Resi Belahan yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Mataram. Apalagi orang itu telah menyebut tentang orang yang mendahului mereka telah terbunuh. Agung Sedayu menduga bahwa yang dimaksud tentu Ki Manuhara. Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu memandang orang-orang itu dengan tajamnya. Orang yang umurnya separuh baya, orang yang berpakaian rapi dari bahan-bahan yang mahal namun matanya menyala dengan liar. Kemudian dua orang raksasa yang agaknya pengawal orang yang berpakaian rapi itu. Agung Sedsayu yang memiliki ingatan yang sangat tajam itu seakan-akan telah mengukir wajah-wajah itu di dinding jantungnya, sehingga untuk seterusnya ia tidak akan dapat melupakannya. Baru sejenak Agung Sedayu itu pun berkata, “Baiklah, aku minta diri untuk meneruskan perjalananku. Aku akan mengantarkan adik-adikku dan kawan-kawanku itu.” Orang yang berpakaian rapi itu sudah akan bergerak, namun orang yang separuh baya telah menggamitnya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan membuat persoalan tentang hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita tidak boleh terjebak seperti orang yang telah mati itu, yang melibatkan diri dalam persoalan yang seharusnya tidak ditangani.” “Tetapi orang itu justru bertanya tentang Paman Resi,” berkata orang berpakaian rapi itu. Orang yang separuh baya itu baru menyadarinya. Karena itu, maka iapun berdesis, “Apa yang sebaiknya kita lakukan?” “Sebelum orang itu sempat berbicara kepada kawan-kawannya, orang itu harus dibunuh. Mungkin ia mendengar pembicaraan kita selagi ia melangkah pergi. Agaknya kita berbicara terlalu keras, sehingga ia mendengar aku atau Paman menyebut Paman Resi.” Orang yang sudah separuh baya itu termangu-mangu. Namun katanya, “Itu tidak perlu. Mereka mempunyai beberapa orang kawan.” “Bagaimana dengan pengenalannya atas Paman Resi?” “Ia hanya menyebut nama Kakang Resi Belahan. Tetapi orang itu tentu belum pernah melihat Kakang Resi itu. Sedangkan orang-orang Mataram juga sudah tahu bahwa Kakang Resi ada di Mataram beberapa saat yang lalu. Bahkan hampir saja Kakang Resi itu terjebak.” “Jika demikian, apakah orang itu termasuk orang penting di Mataram?” orang berpakaian rapi itu bertanya. “Menurut pengakuannya, kedua perempuan itu adalah istri prajurit. Mungkin ia pernah mendengar dari suami kedua perempuan itu.” “Kedua perempuan itu cantik,” desis orang yang berpakaian rapi dan mahal itu. Orang yang sudah separuh baya itu menggeleng kecil sambil berkata, “Jaga dirimu baik-baik dengan kelemahanmu itu. Kau dapat terjerat sebagaimana Ki Manuhara, meskipun dengan maksud yang berbeda.” Orang yang berpakaian bagus dan mahal itu tidak menjawab. Tetapi ia justru tertawa. Katanya, “Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku memerlukan mereka berdua.” “Tetapi jika itu membatalkan semua rencana pamanmu Resi, maka kau tahu akibatnya.” Sekali lagi orang itu tertawa. Katanya, “Apakah Paman menyangsikan ilmuku?” “Siapa yang menyangsikan ilmu Ki Manuhara sebelumnya?“ orang yang sudah separuh baya itu bertanya pula. Orang berpakaian rapi dan mahal itu tidak menjawab. Namun sekilas orang itu memandang Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berdiri di antara beberapa orang laki-laki yang menuntun kuda mereka masing-masing. Adalah di luar dugaan orang yang berpakaian mahal itu, ketika ternyata Rara Wulan juga berpaling kepadanya. Bahkan kemudian nampak gadis itu tertawa. “Setan betina,” geram orang yang berpakaian rapi itu, “perempuan itu memanggilku.” “Tidak. Ia tidak memanggilmu. Yang memanggilmu justru iblis yang akan menelanmu ke dalam jebakannya.” Orang yang berpakaian bagus itu memang mengurungkan niatnya untuk mendekati Rara Wulan. Orang itu sebenarnya tidak tahu sama sekali, bahwa Agung Sedayu sengaja minta agar Rara Wulan mengganggunya. Katanya hampir berbisik, “Pancing orang itu, agar kita dapat bertemu atau setidak-tidaknya berhubungan lagi. Orang itu akan dapat menjadi jembatan kita menuju kepada orang yang bernama Resi Belahan itu.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi wajah Glagah Putih menjadi gelap. Agaknya ia tidak sependapat dengan cara yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, “Kenapa kita tidak membuat satu persoalan agar kita dapat berselisih dengan orang itu? Bukankah akibatnya akan sama saja? Orang itu dan mungkin Resi Belahan akan mencari kita.” “Tetapi perselisihan itu sendiri akan dapat berkembang. Akibatnya mungkin tidak kita duga sebelumnya. Bagaimana jika orang itu terbunuh? Bukankah kemungkinan itu dapat terjadi, karena orang itu tentu juga orang berilmu tinggi?” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, bahwa Glagah Pitih tidak ingin Rara Wulan dipergunakan untuk memancing orang itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita meneruskan perjalanan.” Sejenak kemudian, maka sekelompok kecil orang-orang berkuda itu pun segera meneruskan perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara orang berpakaian bagus itu masih berdiri di tepian. Orang itu terkejut ketika seorang tukang satang bertanya, “Apakah Ki Sanak belum mengenal mereka?” “Belum,” jawab orang itu, “apakah kau mengenalnya?” orang itu tiba-tiba berharap. “Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang sering menyeberang.” “He,” orang itu semakin tertarik, “siapa namanya? Dan apakah kau juga mengenal kedua perempuan itu?” “Aku tidak banyak mengenal mereka. Tetapi yang aku tahu mereka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.” Orang itu tersenyum. Katanya, “Terima kasih, kau sangat baik.” Di luar dugaan tukang satang itu, maka orang yang berpakaian mahal itu telah mengambil beberapa keping uang dan diberikan kepada tukang satang itu, “Terima kasih atas keteranganmu.” Tukang satang itu pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih atas kemurahan hati Ki Sanak.” Orang yang sudah separuh baya itu menarik nafas panjang. Ia tahu pasti, bahwa orang yang berpakaian rapi itu tentu akan mencari kedua perempun itu di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Namun iapun memperingatkan, “Kita juga bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Hati-hatilah. Jangan sampai tugas kita gagal hanya karena kedua perempuan itu. Kau dapat mencari ganti berapa saja kau ingin, kelak jika tugas itu sudah selesai.” “Baik Paman. Tetapi senyum perempuan itu membuat aku gila,“ jawab orang itu. “Kau memang gila,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya itu, “tetapi kegilaanmu itu jangan sampai merusak segala rencana yang sudah disusun oleh Resi Belahan.” Orang itu tertawa. Katanya, “Aku bukan anak-anak lagi Paman. Aku akan dapat mengatur segala-galanya.” “Tetapi kegilaanmu itu kadang-kadang tidak terkendali,” berkata orang separuh baya itu. Orang berpakaian bagus dan rapi itu hanya tertawa saja. “Marilah,” berkata orang separuh baya. Lalu katanya kepada kedua raksasa yang mengawal orang berpakaian bagus itu, “Kau harus ikut mencegah setiap langkahnya yang kurang menguntungkan bagi rencana kita. Kau orang-orang tua, jangan hanya menurut saja seperti orang-orang dungu.” Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu. Tetapi pada wajah mereka memang nampak betapa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir. Yang terpancar dari matanya bukan kecerdikan mereka serta ketajaman akal budi, tetapi seperti sorot mata seekor srigala yang lapar. Orang yang sudah separuh baya itu tiba-tiba membentak, “He, kau dengar kata-kataku?” Dengan gagap kedua orang itu menyahut hampir berbarengan, “Ya. Ya aku dengar.” Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal itu tertawa. Katanya, “Paman masih saja menganggap aku sebagai kanak-kanak.” “Sudahlah,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya. “Orang-orang berkuda itu sudah hilang dari pandangan kita. Marilah kita meneruskan perjalanan. Menurut penglihatanku, orang-orang bekuda itu tentu orang-orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan. Biarlah aku mencari keterangan tentang mereka. Orang-orang kita yang sudah lebih dahulu berada di Mataram tentu akan dapat memberikan keterangan. Tetapi ingat, jangan merusak segala-galanya.” Orang yang bermata liar tetapi terbungkus oleh pakaian yang bagus itu tertawa berkepanjangan. Namun mereka kemudian telah meninggalkan tepian. Sementara orang separuh baya itu masih berdesis, “Tanah Perdikan adalah ladang yang harus kita garap sebelum Mataram mulai dicangkul.” Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kelompok kecilnya menyusuri jalan yang langsung menuju ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Di perjalanan mereka tidak terlalu banyak berbincang. Mereka seakan akan telah tenggelam dalam persoalan mereka masing-masing. Tetapi Sabungsari memang tidak begitu memikirkan orang-orang yang ditemui di tepian itu. Pikirannya kadang-kadang masih tersangkut di rumah Ki Rangga Wibawa. Meskipun ia sudah bertekad untuk tidak akan menemui Raras lagi, tetapi wajah gadis itu masih saja sering melintas di angan-angannya. Tetapi sekali-kali Sabungsari itu sempat juga mengingat bahwa umurnya telah menjadi semakin tua. Meskipun ujudnya masih tidak berselisih jauh dari Glagah Putih, tetapi umurnya terpaut agak banyak. “Meskipun demikian, tentu bukan alasan untuk mengganggu keakraban hubungan antara dua orang yang telah mengarah pada satu kehidupan berkeluarga,” kata Sabungsari kepada dirinya. Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berkuda di paling depan masih sempat sekali-kali berbincang. Dengan senyum kecil Sekar Mirah berkata, “Rara, aku yakin bahwa orang itu akan mencarimu sampai ketemu di seluruh Tanah Perdikan ini.” Rara Wulan pun tersenyum pula. Katanya, “Bukan hanya aku, orang itu akan mencari Mbokayu.” “Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak marah. Sementara nampaknya Glagah Putih tidak senang kau tersenyum dengan orang itu.” “Bukankah aku hanya tersenyum saja?“ desis Rara Wulan, “Biarlah Kakang Agung Sedayu yang mempertanggung jawabkan.” Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Glagah Putih tentu tidak benar-benar marah. Ia hanya tidak setuju dengan cara yang dipilih Kakang Agung Sedayu.” Rara Wulan pun tertawa. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Jadi, kita dapat mengerti betapa Raden Antal hampir menjadi gila karena Rara Wulan tidak menghiraukanya.” “Ah Mbokayu,” desis Rara Wulan. Lalu iapun bertanya, “Bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu waktu itu?” “Tidak ada masalah,” jawab Sekar Mirah sambil tertawa pula. Ternyata Rara Wulan juga tertawa semakin keras. Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga yang berkuda di belakangnya tidak mendengar yang mereka bicarakan. Mereka hanya melihat kedua orang itu tertawa. Demikianlah, maka iring-iringan itu pun semakin lama semakin mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Karena itulah, maka perjalanan mereka mulai tersendat. Orang-orang yang sedang berada di sawah telah menyapa mereka yang sudah beberapa lama tidak nampak di Tanah Perdikan Menoreh. Dengan ramah mereka yang baru kembali ke Tanah Perdikan itu menjawab setiap pertanyaan, agar tidak mengecewakan orang-orang yang seakan-akan telah menyambut kedatangan mereka itu. Semakin dekat dengan padukuhan induk, maka mereka pun menjadi sering menjawab pertanyaan-pertanyaan dan sapa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mengenal mereka dengan baik. Terlebih-lebih lagi jika mereka melewati padukuhan-padukuhan yang cukup ramai. Beberapa saat kemudian maka mereka pun telah memasuki padukuhan induk. Namun Agung Sedayu minta agar mereka langsung pergi menghadap Ki Gede untuk melaporkan kedatangan mereka. “Daripada nanti kita harus pergi lagi setelah kita pulang,” berkata Agung Sedayu. Ternyata yang lain pun sependapat. Jika mereka sudah sampai di rumah, agaknya mereka akan malas untuk segera pergi lagi, meskipun hanya untuk menghadap Ki Gede. Ki Gede yang kebetulan ada di rumah, menyambut mereka dengan senang hati. Dengan kehadiran mereka kembali di Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya keadaan akan menjadi semakin tenang. Tetapi dalam pertemuan itu pula Agung Sedayu telah melaporkan, bahwa beberapa orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Mereka orang-orang yang baru, sepeninggal Ki Manuhara yang telah terbunuh di dekat susukan Kali Opak. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Kami mohon maaf Ki Gede. Mungkin pesoalan itu masih menyangkut keberadaan kami di Tanah Perdikan ini.” “Tidak ada yang salah dalam hal ini Ngger,“ sahut Ki Gede, “apa yang kita lakukan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri semata-mata. Yang kita lakukan akan memberikan arti bagi kampung halaman khususnya, dan Mataram pada umumnya.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ia sudah melaporkan segala-galanya yang terjadi di Mataram, sehingga Ki Gede mempunyai pandangan yang jelas dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki Perdikan Menoreh. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Agung Sedayu pun telah minta diri bersama-sama dengan sekelompok orang yang datang bersamanya. “Kami akan beristirahat dahulu Ki Gede. Besok kami akan menghadap lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian. Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gede pun telah memanggil Prastawa untuk memberitahukan kehadiran beberapa orang yang harus diawasi di Tanah Perdikan. “Perintahkan para pengawal untuk semakin berhati-hati. Yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh sepengetahuan Agung Sedayu ada empat orang,“ berkata Ki Gede. “Baik Ki Gede,“ jawab Prastawa. Ki Gede pun telah memberikan beberapa ciri-ciri dari keempat orang itu sesuai dengan keterangan Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Kau dapat bertemu sendiri dengan Angger Agung Sedayu atau Glagah Putih. Kau dapat menanyakan langsung kepada merekam ciri-ciri orang yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan niat yang kurang baik itu.” “Baik Paman,“ jawab Prastawa, “aku akan menghubungi mereka dan para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan.” Seperti biasanya maka Prastawa pun bekerja dengan cepat. Hari itu juga Prastawa telah memanggil para pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan. Bahkan Prastawa juga memanggil Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk memberikan penjelasan langsung kepada mereka. Sementara Tanah Perdikan Menoreh mempersiapkan diri menghadapi persoalan yang masih saja rumit, di Mataram, Raras merasa hari-harinya semakin sepi. Raden Teja Prabawa sudah tidak menarik lagi baginya. Apalagi Wacana selalu berkata kepadanya, bahwa anak-anak muda seperti Teja Prabawa tidak dapat di harapkan untuk dapat membahagiakannya. “Dalam keadaan yang sulit, Raden Teja Prabawa tentu akan meninggalkan tanggung jawab,” berkata Wacana tidak hanya sekali dua kali. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Wibawa memang menjadi semakin cemas melihat perkembangan sikap Wacana. Ia nampak hampir selalu berada di dekat Raras. Bahkan ketika Raras sudah mau duduk di serambi seorang diri, Wacana masih saja ingin menemaninya. Ia tidak berusaha melatih agar Raras menemukan keberaniannya kembali. Sedang menurut penglihatan kedua orang tua Raras, persoalan yang membuat Raras sering merenung telah bergeser dari persoalan yang semula. Raras tidak lagi selalu dibayangi oleh ketakutan. Tetapi ia masih saja nampak selalu murung. Tetapi Ki Rangga Wibawa masih belum sampai hati untuk berbicara langsung dengan Raras maupun dengan Wacana. “Ki Rangga,“ desis Nyi Rangga ketika ia sempat berbincang dengan suaminya, “bagaimana menurut pertimbangan Ki Ranga tentang Raras? Aku melihat semakin jelas sesuatu yang lain dalam pandangan mata Wacana terhadap adiknya.” “Aku juga menjadi gelisah, Nyi,“ berkata Ki Rangga Wibawa. “Jika Raras mulai berpaling dari Raden Teja Prabawa, maka kita akan mengalami kesulitan lagi. Raras telah dibebaskan dari tangan-tangan orang yang menculiknya oleh keluarga atau orang-orang yang berhubungan dengan keluarga Raden Teja Prabawa. Jika benar dugaan kita bahwa benar ada hubungan antara Raras dan Wacana, maka persoalannya bukan saja persoalan kecil.” “Apalagi mereka masih ada hubungan darah,” berkata Nyi Rangga. “Seandainya soal itu dapat kita kesampingkan, persoalan lebih besar akan dapat menerpa keluarga kita. Bahkan mungkin akibatnya lebih parah daripada yang pernah terjadi dengan Raras. Orang-orang yang telah membebaskan Raras adalah orang-orang berilmu sangat tinggi. Mereka berhasil mengalahkan Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara. Bayangkan, jika mereka marah dan berbuat sesuatu atas kita.” “Apakah sebaiknya kita berterus terang kepada Raras?” bertanya Nyi Rangga. “Kita akan menunggu beberapa saat lagi. Jika kesempatan itu datang, maka kita memang harus berterus terang. Apapun yang akan terjadi, kita memang harus memberitahukan kepada Tumenggung Purbarumeksa. Itu tentu akan lebih baik daripada Ki Tumenggung mendengar dari orang lain,” jawab Ki Rangga meskipun ragu. Tetapi Raras sendiri semakin lama merasa betapa dunianya menjadi semakin sunyi. Kehadiran Wacana hampir di setiap saat tidak dapat mengisi kesunyian di hatinya itu. Hampir setiap saat Raras selalu diganggu oleh bayangan seorang laki-laki yang berilmu tinggi, yang telah melindunginya langsung di saat ia berada di dekat susukan Kali Opak. Raras merasa perasaannya menjadi sangat tenang jika ia berada di dekat orang itu. Tetapi orang itu sudah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, tanpa diketahui kapan ia akan datang lagi. Semakin lama perasaan yang bergejolak di hatinya itu terasa menekan jantungnya. Pandangannya terhadap Raden Teja Prabawa benar-benar sedah berubah. Ia sependapat dengan Wacana, bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang laki-laki yang akan dapat melindunginya. Tetapi satu hal yang sama sekali menyimpang dari keinginan Wacana. Ia memang berhasil mempengaruhi sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa dengan perlahan-lahan. Tetapi Raras tidak bergeser dari Raden Teja Prabwa, yang dinilainya tidak mampu melindunginya itu, kepadanya. Kepada Wacana. Meskipun setiap kali Wacana selalu menceritakan tentang dirinya sendiri. Tentang perguruannya, dan tentang apa saja yang sudah diperoleh dari perguruannya itu. Raras memang menjadi heran ketika Wacana menunjukkan kepadanya betapa besar kekuatannya. Dengan kekuatan tangannya Wacana telah membengkokkan besi gligen. Bahkan kemudian dengan tangannya pula mampu memanasi batang besi itu sehingga benar-benar menjadi panas. Tetapi sikap Raras kepadanya tidak berubah. Sikap seorang adik kepada kakaknya. Bahkan Wacana tidak mampu membuat wajah Raras menjadi tenang. Gadis itu masih saja tetap murung dan merasa dunianya sunyi. “Raras,“ berkata Wacana pada suatu saat, “seharusnya kau sudah berubah. Aku lihat kau sudah menjadi semakin menemukan dirimu sendiri. Kau tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Kau sudah berani duduk sendiri di serambi. Bahkan kau sudah sering berada di dapur. Tetapi kenapa kau masih tetap murung? Wajahmu gelap, pandangan matamu menerawang ke tempat yang tidak pasti. Apa sebenarnya yang kau simpan di dalam hatimu? Apakah kau masih berharap Raden Teja Prabawa itu datang kepadamu? Menurut penglihatanku, ketika Raden Teja Prabawa datang kemari, kau tidak lagi menanggapinya sebagaimana sebelumnya, karena agaknya kau dapat mengerti bahwa Raden Teja Prabawa tidak akan dapat kau jadikan tempat untuk berlindung.” Raras menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berdesis, “Hidupku memang sepi Kakang.” “Kenapa? Kau dapat mengisi hari-harimu dengan apa saja yang kau inginkan. Mungkin sekali-sekali kau ingin keluar rumah dengan perasaan tenang tanpa ketakutan,“ desis Wacana. Raras memandang Wacana sejenak. Namun ia kemudian mengangguk kecil sambil berkata, “Ya Kakang. Sekali-sekali aku memang ingin berjalan-jalan. Aku tidak dapat terus-menerus seperti hidup dalam penjara meskipun di rumahku sendiri.” “Kenapa tidak kau katakan sejak awal? Bukankah aku dapat menemanimu kemanapun kau ingin pergi, tanpa merasa takut? Aku akan dapat melindungimu lebih dari siapa saja. Kau tahu bahwa aku memiliki ilmu dan kemampuan yang tidak kalah dengan orang lain. Bahkan dengan Bajang Bertangan Baja sekalipun.” Raras mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan tatapan matanya justru menjadi semakin menerawang jauh sekali. “Raras, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Jika kau masih merindukan Raden Teja Prabawa, biarlah aku memanggilnya. Tetapi seperti yang sudah sering aku katakan, laki-laki seperti Raden Teja Prabawa itu tidak akan banyak berarti bagi seorang perempuan, karena dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi ayahnya masih berkuasa, mungkin Ki Tumenggung dapat memerintahkan sekelompok prajurit penjaga dan melakukan tugas-tugas yang seharusnya bukan tugas prajurit. Tetapi apakah selamanya ia akan menggantungkan diri pada keadaan seperti itu?” Raras menggeleng lemah. Dengan nada dalam ia menjawab, “Tidak Kakang. Aku tidak lagi memikirkan Raden Teja Prabawa.” “Nah, jika demikian tidak seharusnya kau menjadi murung seperti itu. Kau harus mulai memasuki duniamu yang wajar. Tanpa ketakutan dan kecemasan. Pergilah kemana saja yang kau ingini. Aku akan melindungimu,“ berkata Wacana. Raras menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Kakang. Aku percaya bahwa kau dapat melakukannya. Sebenarnya aku juga ingin berbuat demikian. Tetapi aku tidak akan terlalu bergantung kepadamu untuk seterunya.“ “Kenapa tidak Raras? Bukankah aku ini kakakmu? Dan lebih dari itu, aku dapat kau minta untuk melakukan apa saja,” berkala Wacana. Raras memandang Wacana sejenak. Dengan mata yang redup ia berkata, “Aku mengerti Kakang. Akupun merasa bahwa aku hanya dapat mengeluh dan bahkan menyampaikan gejolak di dalam hatiku kepadamu. Aku tidak dapat mengatakanya kepada Ayah dan Ibu, karena setiap kali Ayah dan Ibu masih saja menyebut nama Raden Teja Prabawa.” Jantung Wacana menjadi berdegup semakin cepat. Dengan serta merta ia berkata, “Katakan Raras. Aku mengerti sepenuhnya persaanmu.” “Kakang,“ berkata Raras dengan suara yang hampir tidak terdengar, “aku sudah tidak dapat memaksa diri untuk bergantung kepada Raden Teja Prabawa.” Wajah Wacana pun menegang. Dengan suara yang sedikit bergetar ia berkata, “Kau sebaiknya berterus terang Raras. Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan bersedia berbuat apa saja bagimu. Aku bukan sekedar kakakmu. Tetapi aku adalah orang yang akan bersedia melindungimu. Bahkan seterusnya.” “Terima kasih Kakang,” jawab Raras, yang kurang menilik kata-kata Wacana ke kedalaman. Ia lebih sibuk dengan angan-angan sendiri, daripada mendengar dan mengerti apa yang dikatakan oleh saudara sepupunya. Namun kemudian dengan sendat ia berkata, “Kakang. Apakah kau benar akan berbuat apa saja untukku?” “Tentu Raras,” jawab Wacana dengan serta merta. Tetapi Raras menarik nafas dalam-dalam. Kepala tertunduk sementara mulutnya tiba-tiba saja terkatup. “Raras. Katakan Raras,” desak Wacana tidak sabar lagi. Tetapi Raras masih saja berdiam diri. “Raras. Bagaimana aku mengetahui perasaanmu dan apalagi maksudmu, jika kau hanya diam saja seperti itu?” desis Wacana. Darahnya yang bagaikan semakin cepat mengalir itu telah menghentak-hentak jantungnya semakin keras. “Tidak Kakang. Aku tidak dapat minta kepadamu,” gumam Raras hampir tidak terdengar. “Kenapa tidak? Katakan, katakan Raras,” Wacana menjadi semakin mendesak. “Jangan kau hancurkan jantungmu sendiri dengan menahan gejolak perasaanmu. Jika kau bersedia mengatakan, maka hatimu tentu akan menjadi semakin lapang.” Raras masih saja nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Kakang. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya dapat mengatakan kepadamu. Tidak kepada orang lain. Tidak pula kepada Ayah dan Ibu.” “Baik Raras. Aku akan mendengarkan dan berbuat apa saja yang terbaik untukmu,” jawab Wacana. Raras memandang Wacana dengan mata yang sayu. Namun akhirnya ia berkata, “Sejak peristiwa itu Kakang, aku benar-benar kehilangan segala perhatianku kepada Raden Teja Prabawa. Ternyata apa yang pernah kau katakan kepadaku itu benar. Bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang yang bertangung jawab. Ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi, Raden Teja Prabawa itu memang tidak berbuat sesuatu.” Raras terdiam sejenak, “Karena itu Kakang, maka aku tidak lagi berniat untuk menyambung hubunganku dengan Raden Teja Prabawa. Perhatianku ternyata mulai tertuju kepada orang lain.” “Kepada orang lain?” ulang Wacana, ”Katakan, kepada siapa perhatianmu itu sekarang kau tujukan?” Wajah Raras menjadi tegang, suaranya semakin bergetar. Katanya, “Apakah aku pantas mengatakannya Kakang? Aku adalah seorang perempuan.” “Apakah seorang perempuan tidak berhak menyatakan perasaannya? Apakah seorang perempuan harus menyimpan gejolak dalam jiwanya dan membiarkan jantungnya terbakar karenanya?” Wacana menjadi semakin tidak sabar lagi. Tiba-tiba Raras mengangguk. Katanya, “Aku minta kau menyimpannya bagimu sendiri Kakang.” “Aku berjanji Raras,” jawab Wacana. Raras masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakang. Sejak peristiwa itu terjadi, sejak aku diselamatkan oleh beberapa orang di dekat susukan Kali Opak, maka sejak itu wajah orang yang telah menolongku itu selalu terbayang. Lebih kuat dan lebih dalam sampai ke dasar jantung daripada Raden Teja Prabawa. Selain keteranganmu tentang Raden Teja Prabawa Kakang, kejantanan orang yang menolongku itu telah mendesaknya jauh ke belakang. Sehingga bayangan yang nampak bukan lagi wajah, sikap dan tingkah laku Raden Teja Prabawa, tetapi wajah dan tingkah laku seorang laki-laki sejati yang bernama Sabungsari itu.” Bagaikan disambar petir Wacana mendengar pengakuan Raras itu. Raras sama sekali tidak menyebut namanya. Gadis itu sama sekali tidak berpaling kepadanya dari Raden Teja Prabawa. Tetapi gadis itu justru berpaling kepada Sabungsari. Darah Wacana bagaikan menggelegak. Ingin rasanya saat itu juga ia menantang Sabungsari di hadapan Raras, agar Raras menjadi saksi, siapakah di antara mereka yang berilmu lebih tinggi. Raras yang terlanjur mengatakan perasaannya itu hanya dapat menunduk dalam-dalam. Ia tidak melihat perubahan wajah Wacana yang tiba-tiba menjadi gelap seperti langit yang tertutup mendung yang tebal. Beberapa saat suasana menjadi hening tegang. Kedua-duanya tenggelam dalam arus perasaan masing-masing. Sejenak kemudian tiba-tiba terdengar Raras justru terisak. Dengan wajah yang masih menunduk ia mengusap air matanya yang mulai mengalir di pipinya. Wacana pun seperti terbangun dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi yang buruk. Bahkan ia berdesah di dalam hatinya, “Bukan sekedar mimpi buruk. Tetapi keadaanku memang buruk sekali. Kenapa orang-orang Tanah Perdikan itu tiba-tiba hadir di Mataram, dan mendahului aku bertindak menyelamatkan Raras dari tangan Bajang Bertangan Baja itu?” Tetapi sebenarnyalah hal itu memang sudah terjadi. Perlahan-lahan Wacana berusaha menguasai gejolak perasaanya. Seandainya ia tidak mampu mengendalikan diri, maka apa yang akan dikatakan oleh pamannya Ki Rangga Wibawa dan bibinya? Karena itu, betapapun isi dadanya menjadi bagaikan terbakar hangus, namun Wacana masih berusaha untuk menguasai diri. Bahkan dengan nada dalam Wacana bertanya, “Raras, jika itu yang kau kehendaki, maka biarlah aku bertemu dengan Sabungsari untuk mengatakan isi hatimu itu kepadanya.” Tetapi dengan serta merta Raras menyahut sambil bangkit berdiri, “Jangan Kakang. Jangan katakan kepada siapapun. Apalagi kepada orang itu. Bukankah kau berjanji bahwa kau tidak akan mengatakan kepada siapapun? Aku tidak ingin seorangpun kecuali kau sendiri yang mendengarnya. Karena kau adalah kakakku. Selama ini hanya kepadamu-lah aku dapat mengadukan perasaanku tentang anak muda yang tinggal di hatiku.” “Tetapi kau tidak dapat menyimpan perasaanmu itu untuk selama-lamanya Raras. Aku juga tidak ingin melihat kau menghancurkan hidupmu sendiri karena kau menyimpan perasaan yang bergejolak di hatimu itu.” “Biarlah Kakang. Aku akan menyimpan rahasia ini di dalam hatiku, apapun yang terjadi kemudian atas diriku. Tetapi aku tidak mau menanggung malu, karena aku seorang gadis telah menyatakan perasaannya mendahului pernyataan seorang laki-laki. Apalagi Ayah dan Ibu yang sama sekali tidak mengetahui perkembangan perasaanku. Ayah dan Ibu akan dapat menuduhku sebagai seorang gadis yang tidak setia.” “Jadi kepada ayah dan ibumu kau akan tetap mengatakan bahwa hatimu masih terpaut kepada Raden Teja Prabawa?” bertanya Wacana. Raras menjadi bingung. Sekali-sekali ia pernah mengatakan kepada ayah dan ibunya tentang sikap dan perasaannya itu terhadap Raden Teja Prabawa. “Jika demikian, maka kau tidak jujur Raras. Kau harus jujur terhadap kedua orang tuamu. Apa yang tesirat di hatimu, harus kau sampaikan kepada kedua orang tuamu, agar mereka mereka mendapat gambaran yang jelas tentang kau. Tentang anak gadisnya. Dengan demikian, maka kedua orang tuamu tidak akan salah mengambil langkah. Tetapi jika mereka tidak tahu perasaanmu yang sebenarnya, maka akan dapat terjadi langkah-langkah yang diambilnya bertentangan dengan sikap hatimu.” “Kakang. Bukankah seorang gadis memang tidak dapat banyak memilih?” bertanya Raras. “Tetapi kau harus mengatakannya. Tentang sikap kedua orang tuamu, itu tergantung pada mereka. Tetapi mereka sudah tahu pasti apa yang kau inginkan.” Raras tetap menggeleng. Katanya, “Tidak Kakang. Bagiku sudah cukup jika kau saja yang mengetahuinya. Kepada Ayah dan Ibu aku memang pernah mengatakan tentang tanggapanku atas Raden Teja Prabawa sekarang. Terserah kepada Ayah dan Ibu, apa yang mereka lakukan. Tetapi aku tidak akan mengatakan kepada Ayah dan Ibu tentang sikapku terhadap orang yang telah menolongku.” Wacana tidak menjawab lagi. Meskipun dalam kediamanya itu terasa betapa jantungnya bagaikan berputar di dalam dadanya. Meskipun demikian Wacana masih berusaha untuk menyembunyikan perasaanya. Tetapi satu hal yang bergejolak di dalam hati anak muda itu. Setahu atau tidak setahu Raras, ia harus menemui Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki ia dapat mempertaruhkan Ilmu dan kemampuannya untuk mendapatkan seorang gadis yang diidamkanya. “Siapa yang lebih buruk di antara kita harus mundur. Setahu atau tidak setahu Raras,” berkata Wacana di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Wacana telah merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Menjumpai Sabungsari dan berbicara sebagai seorang laki-laki dengan seorang laki-laki. Meskipun hal itu tidak dikatakannya kepada siapapun juga, namun Wacana berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan mencari kesempatan untuk melakukannya. Di Tanah Perdikan Menoreh, Sabungsari dengan segala macam cara telah berusaha untuk melupakan Raras. Sabungsari benar-benar tidak berniat menjadi sebab terganggunya hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Karena itu, begitu ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Sabungsari pun telah menenggelamkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan anak muda di Tanah Perdikan bersama Glagah Putih. Sedangkan dalam waktu luangnya, maka Sabungsari telah menghabiskan waktunya di sanggar atau di tempat-tempat terbuka yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Dengan sungguh-sungguh Sabungsari berusaha untuk mengembangkan ilmunya. Sejak ia dengan tuntunan Agung Sedayu berhasil memecahkan hambatan di dalam dirinya, maka Sabungsari perlahan-lahan telah meningkatkan kemampuannya. Agung Sedayu yang kadang-kadang sempat menungguinya, telah mengagumi betapa tekunnya Sabungsari bergulat dengan ilmunya itu. Tetapi di luar sadarnya, di tempat lain, Wacana pun telah mengasah tajam ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi terlalu sering berada di dekat Raras. Tetapi Wacana lebih banyak berada di sanggar pamannya, atau pergi ke tempat-tempat yang sunyi dan terasing untuk menempa diri. Ada perbedaan alasan antara Wacana dan Sabungsari, yang keduanya dalam waktu yang bersamaan telah menempa diri. Wacana mempersiapkan diri untuk menantang Sabungsari dalam sebuah perang tanding. Tuntas atau tidak tuntas, untuk menentukan siapakah di antara mereka yang harus menyingkir dari sisi Raras. Sedangkan Sabungsari menenggelamkan diri dalam latihan-latihan yang berat justru karena ia ingin melupakan Raras. Sementara Sabungsari sibuk dengan kegelisahannya sendiri, maka Glagah Putih dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah sibuk pula mengamati keadaan. Sebagaimana dilaporkan oleh Agung Sedayu ketika ia kembali dari Mataram, bahwa empat orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan tugas yang masih gelap, meskipun sudah diduga bahwa yang akan mereka lakukan itu bukan satu usaha yang baik bagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi untuk beberapa saat masih belum ada tanda-tanda bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada gerakan yang dapat mengganggu ketenangan dan apalagi berusaha untuk merusak tata kehidupan. Tetapi di samping kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan juga selalu berhati-hati. Mereka menyadari, bahwa orang yang ditemui di Kali Praga itu pada suatu saat akan mencari mereka. Terutama Rara Wulan. Meskipun hal itu disengaja oleh Agung Sedayu, agar orang yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal itu tidak terlepas dari satu kemungkinan untuk menjadi jembatan usaha mereka bertemu dengan orang yang disebut Resi Belahan. Sebenarnyalah bahwa orang itu benar-benar telah mencari kedua perempuan yang dikatakan oleh Agung Sedayu sebagai istri prajurit itu. Namun justru karena itu, maka meskipun Bajang Bertangan Baja telah menyatakan untuk meninggalkan Mataram serta Ki Manuhara telah terbunuh, tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan masih saja harus didampingi oleh seseorang, apalagi jika mereka pergi keluar rumahnya atau pergi ke pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga-lah yang harus mengantar mereka pergi ke pasar. Apalagi Ki Jayaraga sendiri memang senang melihat-lihat pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga yang semakin tua itu minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan membeli makanan anak-anak, karena Ki Jayaraga memang menyukainya. Clorot dan klepon, serta beberapa jenis makanan yang lain. Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak dapat mencegah jika orang tua itu tiba-tiba saja ingin membeli dawet cendol dan minun di tempat itu juga sambil berjongkok. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang lebih senang berbelanja dengan Ki Jayaraga daripada dengan Glagah Putih atau Sabungsari, yang kadang-kadang menjadi tidak telaten jika mereka sedang menawar barang-barang yang akan dibelinya. Ternyata bahwa akhirnya yang mereka tunggu itu datang juga. Selagi Sekar Mirah dan Rara Wulan berbelanja di pasar, maka tiba-tiba seorang telah menggamit Rara Wulan. Gadis itu terkejut. Namun demikian ia berpaling, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Orang itulah yang pernah bertemu di pinggir Kali Praga. Untunglah bahwa Sekar Mirah dan Rara Wulan waktu itu berada di pasar bersama Ki Jayaraga yang kebetulan tidak pergi ke sawah. “Ah, kau,” desis Rara Wulan. “Kau masih ingat aku?“ bertanya orang itu. Matanya masih tetap liar seperti waktu mereka bertemu di pinggir Kali Praga. “Tentu,” jawab Rara Wulan. “Bukankah kau yang menyeberang Kali Praga bersama kami waktu itu?” “Ternyata ingatanmu tajam,” jawab orang tua itu. “Nah, apakah suamimu masih belum ada di rumah?“ Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ternyata orang itu berbicara langsung tentang dirinya. Ketika ia melihat Rara Wulan ragu-ragu, maka iapun mendesak, ”Jangan takut. Jika suamimu marah, aku akan menyelesaikannya.” “Suamiku ada di rumah sekarang,“ jawab Rara Wulan. Orang itu mengerutkan dahinya. Iapun berpaling kepada Sekar Mirah, “Dan suamimu?” “Ya,“ jawab Sekar Mirah, “mereka pulang kemarin sore. Karena itu kami pergi berbelanja untuk suami kami masing-masing.” “Jangan hiraukan suamimu. Mari ikut aku. Nanti kalian aku antarkan pulang. Aku akan berbicara dengan suami kalian. Aku mempunyai barang-barang yang akan membuat suami kalian tidak akan marah.” Orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah menjawab, “Hai, kau kira kami ini apa?” Orang itu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Rara Wulan, Rara Wulan pun berkata, “Jangan menghina kami Ki Sanak. Nanti perutmu dapat dilubangi oleh suami-suami kami.” Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bukankah kalian bersikap baik ketika kalian berada di tepian Kali Praga?” “Kami bersikap baik, karena kami mengira bahwa hatimu pun baik dan sebersih pakaiamu,“ jawab Sekar Mirah. Jantung orang itu berdetak semakin cepat di dadanya. Wajahnya menjadi merah dan telinganya terasa panas. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan memang sengaja membuat orang itu marah, untuk memancing persoalan. Agar sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu, orang itu akan dapat menjadi jembatan untuk sampai kepada orang yang bernama Resi Belahan. Sebenarnyalah orang itu bukan saja menjadi marah. Tetapi ia merasa seakan-akan kedua orang perempuan itu sedang mempermainkannya. Karena itu maka iapun menggeram, “Setan-setan betina. Kau kira kau akan dapat luput dari tanganku?” “Kau mau apa?” tantang Rara Wulan, “Kita berada di pasar. He, lihat. Berapa orang yang sudah mulai memperhatikan kita. Jika kau bertindak kasar dan aku berteriak di sini, maka orang-orang akan berdatangan dan mengerumuni kita. Petugas yang menjaga pasar dan Lurah pasar ini akan segera menangkapmu dan membawamu kepada Ki Gede Menoreh.” Orang itu menggeretakkan giginya. Ketika ia memandang orang-orang di sekelilingnya, satu dua orang memang tengah memperhatikannya, meskipun yang dilakukannya tidak lebih dari sekedar bercakap-cakap dengan kedua perempuan itu. Tidak jauh dari Sekar Mirah dan Rara Wulan berbicara dengan orang yang berpakaian bagus dan rapi itu, Ki Jayaraga berjongkok sambil meneguk semelak yang segar, meskipun tidak terlalu banyak orang yang menggemarinya. Ki Jayaraga seakan-akan tidak mempedulikan apa yang terjadi dengan kedua orang perempuan itu. Ternyata memang tidak terjadi pertengkaran yang berkepanjangan. Orang yang dijumpai di Kali Praga itu segera meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Namun keliaran pandangannya telah memperingatkan agar Sekar Mirah dan Rara Wulan tetap berhati-hati. Baru setelah orang itu pergi, maka Ki Jayaraga pun bangkit dan mendekati mereka, setelah membayar harga semelak yang diminumnya. Dengan nada rendah Ki Jayaraga berdesis, “Berhati-hatilah Ngger. Orang itu bukan jenis orang yang mudah melepaskan sesuatu yang diingininya.” dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini Ki Jayaraga pun mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Memang satu pancingan yang berbahaya. Tetapi kita tidak mempunyai cara lain. Jika kita tempuh cara yang lebih lunak, agaknya Angger Glagah Putih tidak sependapat. Bukankah itu terasa padamu Rara Wulan?” “Ah,” desah Rara Wulan. Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Sekar Mirah justru tertawa kecil. Katanya, “Kau justru harus berbangga Rara. Jika Glagah Putih tidak mempedulikan apa saja yang kau lakukan, barulah kau mengeluh.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi merah. Yang dapat dilakukannya hanyalah menundukkan wajahnya. Meskipun demikian, seleret senyum nampak di bibirnya. Demikianlah, mereka bertiga pun segera meninggalkan pasar itu setelah mereka selesai berbelanja. Tanpa meninggalkan kewaspadaan, mereka menyusuri jalan-jalan yang terhitung ramai di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di sebelah tikungan, mereka harus mengikuti jalan yang berkelok melalui pinggir padukuhan, sebelum sampai di simpang empat dan kembali memasuki padukuhan. “Di sepotong jalan di pinggir desa itulah satu-satunya kemungkinan bagi orang itu untuk berbuat sesuatu yang mungkin dapat menghambat perjalanan kita,“ berkata Ki Jayaraga. Sekar Mirah dan Rara Wulan mengangguk kecil. Tetapi sepotong jalan itu tidak cukup panjang untuk berbuat banyak. Apalagi sepotong jalan itu masih tetap melekat pada padukuhan induk. Sebenarnya masih ada jalan lain yang lebih terlindung dari kemungkinan buruk itu, jika mereka menghendaki. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang memilih jalan itu. Sebelum mereka berbelok memasuki jalan yang menuju ke pinggir padukuhan itu Ki Jayaraga pun berkata, “Mereka ada di belakang kita.” “Baiklah,“ berkata Sekar Mirah, “satu kesempatan. Tetapi sayang bahwa Kakang Agung Sedayu agaknya sudah berangkat ke barak.” “Mereka, maksudku orang yang berpakaian bagus itu dengan kedua orang pengawalnya, tidak akan mengikuti kita sampai ke rumah,“ berkata Ki Jayaraga. “Belum tentu, mungkin mereka ingin melihat rumah kita,“ jawab Rara Wulan. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. “Memang satu kemungkinan. Tetapi apakah kita berniat untuk membawa mereka sampai ke rumah kita?” “Bagaimana pendapat Ki Jayaraga?“ bertanya Sekar Mirah. “Jika demikian, maka peristiwa itu akan terulang. Seperti Ki Manuhara, maka mereka akan datang dan menyerang rumah kita.” “Bukankah itu lebih baik? Kita membatasi persoalan ini di dalam dinding halaman rumah kita. Sementara itu kita akan dapat mengenali Resi Belahan jika ia datang untuk membantu orang yang menyebutnya Paman itu,” desis Sekar Mirah. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika Angger Agung Sedayu setuju.” “Tetapi kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara dengan Kakang Agung Sedayu sekarang,“ desis Rara Wulan. “Jika demikian, biarlah kita mencoba. Tetapi justru karena kalian mengatakan bahwa suami kalian pulang, mungkin orang itu akan berbuat lain. Mungkin ia mempunyai cara lain selain datang ke rumah kita,” berkata Ki Jayaraga. Sebenarnyalah, belum lagi Sekar Mirah dan Rara Wulan menjawab, maka orang itu telah menyusul mereka dan bahkan menghentikan langkah mereka. “Tunggu,“ berkata orang itu, “aku masih ingin bicara. Tetapi tidak di dalam pasar yang ramai.” Sekar Mirah dan Rara Wulan memang segera berhenti. Demikian pula Ki Jayaraga. “He, kau orang tua. Kenapa kau juga berhenti? Pergilah. Kami bukan tontonan,“ berkata orang itu. Tetapi Ki Jayaraga menjawab. “Ki Sanak. Aku adalah mertua mereka keduanya. Kedua perempuan itu adalah menantuku. Suami mereka dua orang kakak beradik.” “He?” orang itu mengerutkan dahinya, “Jadi suami kalian kakak beradik dan kedua-duanya menjadi prajurit?” “Ya,“ jawab Sekar Mirah dan Rara Wulan hampir berbareng. “Aku tidak peduli. Sekarang aku minta kalian berdua mengikuti aku,” berkata orang itu. “Untuk apa?“ bertanya Sekar Mirah. “Kalian tidak usah bertanya,“ jawab orang itu, “cepat. Kalian harus turun ke jalan sempit itu dan berjalan ke arah petegalan di sebelah.” “Ya, untuk apa?” desak Sekar Mirah. “Jangan bertanya lagi supaya aku tidak menyumbat mulutmu!“ bentak orang itu, “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Cepat!” Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka sempat memperhatikan dua orang yang bertubuh raksasa yang mengawal orang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal itu. “Cepat! Jangan membuat aku kehilangan kesabaran.” “Tatapi kami akan kau bawa kemana?“ bertanya Sekar Mirah. “Jangan ribut. Pada saatnya kalian akan aku lepaskan untuk pulang ke rumah kalian dan mengadu kepada suami kalian,” geram orang itu. Ki Jayaraga yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Pergilah. Kalian tidak mempunyai pilihan.” Sekar Mirah dan Rara Wulan temangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa mulai bergerak mendekati Sekar Mirah dan Rara Wulan. “Pergilah,“ Ki Jayaraga mengulang. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun mulai bergerak. Tetapi orang yang berpakaian mahal itu berkata, “Kakek tua. Kau juga harus ikut bersama kami.” “Kenapa aku juga ikut?” bertanya Ki Jayaraga. “Kau akan dapat merusakkan acara kami,” jawab orang itu. Ki Jayaraga tidak membantah lagi. Sekali ia memandang orang yang bertubuh raksasa itu. Sambil membelalakkan matanya salah seorang dari yang bertubuh raksasa itu berkata, “Tutup mulutmu. Jangan banyak bertanya.” Ki Jayaraga memang tidak bertanya. Sementara itu, orang berpakaian bagus itu berkata kepada salah seorang dari kedua pengawalnya itu, “Kau berjalan di muka.” Orang itu pun berjalan menjauhi orang-orang yang ada di tempat itu. Kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan harus mengikuti di belakangnya. Baru kemudian orang yang berpakaian rapi itu, sementara Ki Jayaraga harus berjalan diiringi oleh pengawalnya yang seorang lagi. Dua orang yang kebetulan lewat melihat iring-iringan itu berjalan menyusur jalan sempit. Dari arah yang lain, seorang yang berjalan juga merasa heran melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan bersama beberapa orang menyusuri jalan sempit itu. Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, maka mereka tidak merasa perlu untuk dengan serta merta memberitahukannya kepada keluarga Agung Sedayu. “Mungkin mereka mengantar tamu mereka untuk melihat-lihat Tanah Perdikan ini,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang lewat itu. Sementara itu setelah beberapa saat mereka berjalan, maka seorang yang berpakaian rapi itu telah menggiring Sekar Mirah dan Rara Wulan memasuki sebuah pategalan yang ditanami dengan tanaman yang padat, sehingga demikian mereka memasuki pategalan itu, maka rasa-rasanya iring-iringan itu telah ditelan oleh dedaunan. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan terkejut. Ternyata di tengah pategalan itu terdapat lima ekor kuda. “Cepat naik!“ bentak orang itu. “Kita harus segera menjauhi padukuhan induk. Orang-orang yang melihat kalian pergi bersama kami tentu akan memberikan laporan, sehingga mereka akan mencari kalian. Tetapi kalian akan kami bawa ke tempat yang tak mungkin diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan, meskipun tempat itu masih berada di Tanah Perdikan Menoreh.” “Tetapi kami tentu tidak akan dapat naik kuda,“ berkata Sekar Mirah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Kau jangan bohong. Kau berkuda ketika kau menyeberang Kali Praga.” “Tetapi tidak dengan pakaian seperti ini,” jawab Rara Wulan. “Apa bedanya?” bertanya orang itu. “Dengan kain panjang, bagaimana aku dapat meloncat ke punggung kuda?“ desis Rara Wulan. “Aku akan mengoyakkan kain panjangmu,“ berkata orang itu. “Jangan,“ minta Rara Wulan. “Cepat. Kau ternyata berusaha untuk mengulur waktu. Tetapi aku tidak mau kau perbodoh seperti itu,” geram orang itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata orang yang berpakaian rapi itu benar-benar akan mengoyak kain panjang Rara Wulan dan Sekar Mirah. Tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah segera meloncat surut. Ketika kedua orang raksasa itu akan membantu untuk memegangi kedua orang perempuan yang akan dipaksa untuk naik kuda itu, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan benar-benar telah mengejutkan mereka. Justru karena sikap hati-hatinya, maka di bawah kain panjangnya Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengenakan pakaian khususnya. Karena itu, sebelum kain panjangnya dikoyak agar mereka dapat meloncat ke punggung kuda, maka keduanya telah menyingsingkan kain mereka. Orang berpakaian rapi serta kedua raksasa itu tertegun sejenak. Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Nah, mereka sudah siap untuk naik kuda. Tetapi kuda itu hanya lima ekor. Lalu aku harus naik yang mana?” “Kau akan diseret di belakang salah seekor dari kuda itu. Tubuhmu akan terkelupas, dan setelah kau tidak bernyawa lagi, sosok mayatmu akan dibuang di semak-semak,“ geram salah seorang dari kedua orang raksasa itu. Tetapi sebelum Ki Jayaraga menjawab, Sekar Mirah pun berkata, “Ki Sanak. Kalian tidak akan dapat memaksa aku untuk naik ke punggung kudamu, meskipun aku sudah mengenakan pakaian khususku. Demikian pula adikku.” “Kau terpaksa harus mengikuti perintahku agar lehermu tidak dipatahkan oleh kedua raksasa itu,” geram orang itu pula. “Kau jangan membuat lelucon di hadapanku. Kami berdua adalah istri prajurit. Karena itu, maka kami sering melihat bagaimana mereka berlatih menjaga diri mereka sendiri.” “Iblis betina kau. Kau kira kau mampu bertahan dalam sekejap? Jangan membuat aku marah. Karena padaku batas antara kasmaran dan kemarahan tidak terlalu jauh. Kedua orang itu akan mengikatmu. Dan seperti yang dikatakannya, jika kalian mencoba melawan, kakek tua itu akan kami ikat di belakang kaki kudaku dan menyeretnya sampai seluruh kulitnya terkelupas.” “Begitu mudahnya kau akan memaksa kami?” sahut Rara Wulan dengan nada tinggi. Lalu katanya, “Sudah kami putuskan bahwa kami akan melawan.” “Persetan,“ geram orang itu. Lalu katanya kepada kedua pengawalnya. “Ikat mereka pada punggung kuda. Aku tidak mempunyai waktu.” Tetapi kedua raksasa itu benar-benar terkejut. Demikian mereka mulai bergerak, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah meloncat menyerang. Dengan sekuat tenaga Rara Wulan menyerang dagu salah seorang dari kedua orang bertubuh raksasa itu dengan tumitnya. Demikian kerasnya, sehingga terdengar giginya gemeretak. Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira sama sekali bahwa hal itu dapat terjadi. Bahkan kemudian iapun telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan untuk tetap tegak berdiri. Sementara itu Sekar Mirah pun telah menyerang lawannya. Tidak dengan kakinya. Tetapi telapak tangannya yang terbuka telah menghantam dada raksasa yang seorang lagi. Demikian kerasnya, raksasa itu benar-benar tidak mampu tetap bertahan untuk tegak berdiri. Tubuhnya bagaikan didorong dan dilemparkan sehingga jatuh terkapar di tanah. Meskipun ia dengan cepat bangkit kembali, namun wajahnya telah menjadi merah padam. “Perempuan itu telah menjatuhkannya. Nah, hati hatilah dengan perempuan,” berkata Ki Jayaraga. Kedua raksasa itu menjadi sangat marah. Seorang di antara mereka ternyata giginya telah berdarah, sementara yang lain nafasnya menjadi sesak. Orang yang berpakaian bagus dan terbuat dari bahan yang mahal itu justru termenung untuk beberapa saat. Ia sama sekali tidak menduga bahwa perempuan-perempuan itulah yang justru lebih dahulu menyerang. Ketika orang itu melihat pakaian kedua perempuan itu di atas rakit penyeberangan di Kali Praga, ia hanya menduga bahwa pakaian yang tidak terbiasa dipakai permpuan itu sekedar untuk memudahkan agar mereka dapat naik kuda. Tetapi ternyata perempuan yang berpakaian khusus itu memiliki kekhususan pula. Dengan marah orang itu kemudian berkata, “Kalian benar-benar membuat aku marah. Jangan menyesal jika kalian akan diperlakukan kasar oleh kedua orangku itu.” Tetapi Rara Wulan menjawab, “Aku juga dapat memperlakukan mereka dengan kasar. Tetapi jika mereka berbuat baik, akupun dapat berbuat baik pula.” Jawaban itu membuat orang berpakaian bagus itu bagaikan terbakar. Demikian pula kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka orang yang berpakaian rapi itu berkata kepada orang-orangnya, “Terserah kepada kalian berdua, apapun yang akan kalian lakukan untuk mengikat keduanya pada kuda-kuda itu. Kalian dapat berlaku keras. Tetapi jangan membuat mereka cacat. Aku masih menyayangkan kecantikan mereka.” Keduanya menggeram. Rasa-rasanya keduanya justru ingin menerkam wajah mereka dan menggoreskan dengan senjata mereka silang menyilang. Tetapi ternyata orang yang berpakaian rapi itu menginginkan kecantikan mereka. Tetapi ternyata kedua orang raksasa itu tidak begitu mudah melakukan tugas mereka. Kedua perempuan itu justru telah bersiap untuk melawan mereka. Yang terjadi kemudian memang petempuaran yang keras. Kedua orang yang bertubuh raksasa yang mendapat ijin dari orang yang mengupah mereka untuk berlaku kasar sekalipun, ternyata tidak dapat dengan mudah menangkap dan apalagi mengikat keduanya pada kuda-kuda yang telah disediakan. Bahkan pertempuran di antara mereka berdua dengan orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama justru menjadi semakin keras. Orang yang berpakaian mahal itu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi heran bahwa kedua orang perempuan itu dapat mengimbangi kemampuan kedua orang pengawalnya. Bahkan semakin lama maka kedua raksasa itu menjadi semakin bingung. Terutama orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Dengan tangkasnya Sekar Mirah berloncatan. Bukan saja kelebihannya dalam kecepatan bergerak. Tetapi ketika sekali-sekali tangannya membentur serangan orang bertubuh raksasa itu, maka Sekar Mirah justru mampu mendorong lawannya satu dua langkah surut. Dalam pada itu Rara Wulan sekali-sekali masih mampu menjaga keseimbangan pertempuran. Meskipun sekali-sekali Rara Wulan masih harus bergeser surut mengambil jarak, tetapi semakin lama Rara Wulan justru menjdi semakin mapan. Orang berpakaian mahal itu terkejut ketika ia mendengar Ki Jayaraga tertawa sambil berkata, “Nah, kau lihat bahwa kedua perempuan itu mampu menjaga dirinya. Mereka tidak perlu memanggil suaminya. Apabila hal itu sempat mereka lakukan, maka lawan-lawan mereka itu akan segera dihancurkan.” “Setan kau Kakek Tua. Karena kedua orang perempuan itu berani melawan aku, maka kau akan ikut mengalami nasib buruk. Aku tidak segan-segan memperlakukan kau dengan cara yang paling buruk.” Tetapi Ki Jayaraga masih saja tertawa. Katanya, “Kau masih saja mengigau dalam keadaan seperti ini. Jika dengan menantu-menantuku saja kau tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi dengan mertuanya.” Orang berpakaian mahal menjadi marah sekali mendengar jawaban orang tua itu. Karena itu, maka dengan serta merta tangannya telah terayun menampar wajah Ki Jayaraga. Tetapi orang tua itu tidak dapat disentuhnya. Dengan bergeser setapak dan menarik wajahnya, maka ayunan tangan orang itu tidak dapat mengenainya. Kemarahan orang itu semakin membakar jantung. Dengan cepat ia melenting menyerang. Kakinya terjulur lurus mengarah ke dada orang tua itu. Ia tidak mempedulikan seandainya tulang-tulang iga orang itu berpatahan. Tetapi yang terjadi justru tidak seperti yang dikehendaki. Orang yang berpakaian bagus itu tidak mengerti apa yang dilakukan orang itu. Yang diketahuinya bahwa tiba-tiba saja kakinya telah terlempar, justru seakan-akan telah terangkat tinggi-tinggi. Dengan demikian maka tubuhnya pun telah jatuh terbanting di tanah. Tulang punggungnya serasa menjadi retak karenanya. Tetapi orang itu masih juga bangkit dengan cepat. Giginya gemeretak, sedang dari sepasang matanya begaikan memancar api kemarahan yang akan membakar Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga telah bersiap sepenuhnya. Ia melihat pada mata orang itu bahwa orang itu pun memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. “Orang tua yang tidak tahu diri,“ geram orang itu, “ternyata kau masih merasa bahwa kau masih mampu melindungi dirimu. Baiklah jika cara itu yang kau kehendaki. Aku benar-benar akan membunuhmu. Aku sudah mencoba menahan diri, tetapi kau salah mengerti. Bahkan dengan sombong kau telah menyakiti aku.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi iapun mulai bersungguh-sungguh. Apalagi ketika ia melihat orang yang berpakaian mahal itu mulai mengatupkan kedua belah telapak tangannya. Demikianlah, maka sejenak orang itu mulai bergerak. Tidak lagi asal mengayunkan tangan atau kakinya. Ia mulai benar-benar membuat perhitungan untuk melawan orang tua itu. Tetapi Ki Jayaraga pun telah bersiap pula. Ketika orang yang berpakaian mahal itu mulai bergeser, maka Ki Jayaraga pun lelah melakukannya pula. Sehingga dengan demikian, maka orang yang berpakaian mahal itu pun menyadari bahwa orang tua yang dihadapinya itu bukan orang kebanyakan pula. Demikianlah, sejenak kemudian maka keduanya pun telah benar-benar bertempur. Orang yang berpakaian bagus itu meloncat-loncat dengan tangkas, sehingga kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah. Tetapi lawannya yang tua itu adalah Ki Jayaraga. Karena itu, betapapun cepatnya orang itu bergerak, tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak dapat menembus pertahanan lawannya yang nampaknya lamban. Bahkan beberapa saat kemudian, justru tangan Ki Jayaraga yang mampu menembus pertahanan orang itu. Semakin lama justru menjadi semakin sering. Kemarahan orang itu pun telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Dikerahkannya tenaga dalam yang mampu diungkapkannya sampai tuntas. Dengan segenap kekuatan dan kemampuannya orang itu berusaha secepatnya menyelesaikan orang tua itu, agar ia dapat segera membantu kedua orang pengawalnya, yang nampaknya tidak dapat segera menguasai kedua orang perempuan itu. Tetapi usaha orang itu pun sia-sia. Dengan kemarahan yang membakar jantung, orang itu telah menyerang Ki Jayaraga dengan landasan kemampuan puncaknya. Sebuah loncatan yang deras sambil menjulurkan kedua tangannya menerkam ke arah dada. Jari-jarinya yang mengembang bagaikan jari-jari seekor elang yang menerkam mangsanya. Ki Jayaraga melihat serangan itu. Ia sadar, bahwa jari-jari tangan lawannya itu akan dapat mencengkeram dan bahkan mengoyak dadanya. Karena itu, maka Ki Jayaraga pun telah bersiap sepenuhnya. Demikian tangan itu hampir menggapai tubuhnya, maka Ki Jayaraga pun segera meloncat ke samping. Tetapi Ki Jayaraga tidak sekedar menghindar. Ketika demikian serangan itu menyambar sejengkal dari tubuhnya, maka Ki Jayaraga justru dengan cepat menyerang lawannya. Kakinya terjulur cepat sekali menghantam lambung. Lawannya itu berteriak nyaring. Perasaan nyeri telah menyengat lambungnya. Bahkan dorongan kekuatan yang sangat besar telah melemparkan orang itu searah dengan loncatannya sendiri. Karena itulah, orang yang berpakaian mahal itu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya. Ia justru terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab. Namun dengan tangkasnya orang itu berguling mengambil jarak. Sementara itu Ki Jayaraga memang tidak mengejarnya, sehingga orang itu pun telah bangkit berdiri. “Setan Tua,“ geram orang itu, “jika kau keras kepala, maka kau akan benar-benar lebur menjadi debu.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. “Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Sementara itu kedua orangmu itu pun sebentar lagi akan menjadi tidak berdaya. Nah, ada pilihan yang aku tawarkan kepadamu. Pergi dari tempat ini, atau kalian akan kami tangkap dan kami bawa menghadap ke Ki Gede. Kedua orang suami perempuan-perempuan itu pun akan hadir. Mereka akan dapat melubangi perutmu dan perut kedua orang upahanmu itu dengan pedang-pedang mereka, di hadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.” Orang yang berpakaian bagus itu menggeram. Pakaiannya yang rapi telah menjadi kusut, bahkan kotor oleh debu yang melekat pada pakaian yang basah karena keringat. Ketika ia berguling-guling di tanah, dan lumut pun telah melekat pula. “Sebaiknya kau pergunakan kesempatan ini sebelum terlambat,“ berkata Ki Jayaraga, yang memang tidak ingin menangkap orang itu agar orang itu sempat melaporkan kepada Resi Belahan. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itu pun masih bertempur melawan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Orang yang harus bertempur melawan Sekar Mirah itu pun sudah tidak berdaya sama sekali. Satu dorongan yang tidak terlalu kuat telah menggoyahkan keseimbangannya. Sementara itu keduanya masih belum berani mempergunakan senjata, karena mereka tahu orang yang mengupahnya itu tidak ingin perempuan-perempuan itu terluka. Tetapi tanpa senjata, keduanya memang tidak bedaya. Dalam pada itu, orang yang semula berpakaian rapi itu sedang berpikir. Ia tidak dapat menutup mata dari kenyataan yang dihadapainya. Apalagi sejenak kemudian, orang yang bertempur melawan Sekar Mirah itu pun telah terlempar jatuh. Dengan susah payah orang itu bangkit. Namun demikian ia mulai menapakkan kakinya, maka kawannya tiba-tiba saja telah terdorong surut oleh serangan Rara Wulan dan bahkan menimpanya. Dengan demikian maka keduanya pun telah jatuh berguling beberapa kali. “Nah, apakah kau lihat kedua orangmu itu?“ desis Ki Jayaraga, “Mereka sudah tidak berdaya sama sekali. Jika mereka kau paksa untuk bertempur terus, maka mereka benar-benar akan kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Ingat, kedua perempuan itu pun dapat kehilangan kesabaran. Apalagi mereka dibayangi oleh ketakutan bahwa mereka akan kau bawa serta. Ketakutan yang demikian besar akan dapat menjadikan mereka semakin garang. Melampaui kegarangan suami-suami mereka.” Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun memang ia tidak melihat kemungkinan lain. Iapun menyadari bahwa orang tua itu tidak akan mudah dikalahkannya. Apalagi setelah kedua orang upahannya itu dapat dikalahkan oleh lawan-lawannya. Karena itu, maka sambil melangkah surut iapun berkata, “Setan Tua. Kau aku ampuni hari ini. Jika aku mau mencabut senjataku, maka umurmu tidak akan lebih panjang dari kejapan mata. Tetapi kali ini kau akan aku biarkan untuk hidup. Meskipun demikian, berhati-hatilah. Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Dendamku akan membakarmu dan kedua perempuan itu.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Iapun memberi isyarat kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk tidak berbuat sesuatu. Demikianlah, maka orang yang berpakaian bagus itu pun telah memberi isyarat kepada kedua kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah melangkah mendekati kuda-kuda mereka. Namun dalam pada itu, ternyata Rara Wulan masih juga bertanya dengan nada lembut sambil tersenyum, “Namamu siapa Ki Sanak? Sudah sejak tadi kita berbincang, tetapi kau belum menyebutkan namamu.” “Persetan dengan kau perempuan iblis,” geram orang itu. Rara Wulan tidak hanya tersenyum. Tetapi iapun tertawa sambil berkata, “Apakah kau marah?” “Kau akan menyesal dengan sikapmu,” geram orang itu sambil meloncat ke punggung kudanya. “Bukankah yang dua ekor kuda itu untuk kami berdua?” bertanya Sekar Mirah. “Aku sumbat mulutmu dengan hulu pedangku,” geram orang yang semula berpakaian rapi itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan tertawa. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menggelengkan kepala. Ia tidak dapat mencegah kedua perempuan itu untuk mengganggu laki-laki yang bermata srigala tetapi berbulu domba itu. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak benar-benar merampas kedua ekor kuda yang nampaknya memang telah dipersiapkan bagi mereka berdua. Dibiarkannya laki- laki berpakaian mahal, yang sudah menjadi kumal, kotor dan bahkan koyak itu, melarikan kudanya, disusul oleh kedua orang pengawalnya sambil masing-masing menuntun seekor kuda. “Mudah-mudahan pancingan ini berhasil membawa Resi Belahan ke Tanah Perdikan Menoreh,” desis Ki Jayaraga. “Banyak kemungkinan dapat terjadi,” berkata Sekar Mirah. “Kita sudah membuat jebakan untuk mengenal Resi Belahan. Tetapi kita tidak tahu, apakah Resi Belahan juga mempunyai cara-cara yang tidak kita perhitungkan sebelumnya untuk memecahkan permainan kita.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Permainan yang menuntut perhitungan yang cermat.” Demikianlah, maka Ki Jayaraga pun kemudian telah mengajak Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk pulang. Hari menjadi semakin siang. Sementara itu mereka membawa barang-barang belanjaan mereka dari pasar. Sekar Mirah dan Rara Wulan masih harus membenahi pakaiannya lebih dahulu, karena pakaian mereka pun menjadi kusut pula oleh debu yang melekat karena pakaian mereka basah oleh keringat. Sejenak kemudian maka mereka pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan pategalan itu. Tetapi ketika mereka mulai beranjak, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Bagaimana dengan pategalan ini?” Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi termangu-mangu. Tanaman memang menjadi rusak, meskipun hanya di tempat tertentu. Kaki-kaki kuda telah mematahkan pepohonan. “Apa boleh buat,” berkata Sekar Mirah. “Tetapi jejak kaki kuda itu serta bekas yang ada, memberitahukan kepada pemiliknya bahwa telah terjadi pertempuran di sini.” “Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang melihat kita turun ke lorong yang menuju ke pategalan ini?” desis Rara Wulan. Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirah pun berkata, “Kita akan membicarakanya nanti di rumah.” “Baiklah,“ berkata Ki Jayaraga, “kita pun nanti akan menghubungi pemiliknya jika perlu.” Dengan demikian ketiga orang itu pun segera meninggalkan pategalan itu. Rara Wulan masih saja menjijing keranjang kecil yang berisi barang-barang belanjaan di pasar sebelumnya. Namun demikian mereka keluar dari pategalan, mereka tertegun sejenak. Mereka melihat Sabungsari dan Glagah Putih berjalan menuju ke arah mereka. “Kami menjadi gelisah,” berkata Glagah Putih demikian mereka mendekat. “Dari mana kau tahu bahwa kami ada di sini?” bertanya Ki Jayaraga. “Ada orang yang memberitahukan kepada kami bahwa kalian telah berbelok lewat lorong sempit menuju ke pategalan. Dengan mengikuti jejak kalian, maka kami sampai di sini,” jawab Glagah Putih. “Marilah kita pulang. Nanti aku ceritakan apa yang terjadi. Pategalan ini menjadi rusak agak di tengah oleh kaki kami dan kaki-kaki kuda,” berkata Ki Jayaraga. Tanpa banyak berbicara lagi, maka mereka pun segera beriringan pulang. Ternyata memang ada orang yang menyampaikan kepada Glagah Putih tenteng kejanggalan yang dilihatnya, karena mereka bertiga berbareng dengan orang-orang yang tidak dikenal. Dua di antara mereka adalah orang yang bertubuh raksasa. Glagah Putih dan Sabungsari pun segera tanggap. Karena itu, maka mereka pun berusaha menyusul. Demikian mereka sampai di rumah, maka Ki Jayaraga pun telah menceritakan apa yang terjadi, Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan segera sibuk di dapur, karena hari sudah menjadi semakin siang. Glagah Putih dan Sabungsari mendengar cerita Ki Jayaraga yang bersungguh-sungguh. Dengan demikian mereka sadar, bahwa agaknya orang yang berpakaian rapi dan dibuat dari bahan-bahan yang mahal itu sudah benar-benar mulai. Tetapi seperti dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka biarlah orang itu akan dapat dijadikan jembatan sampai kepada orang yang menyebut dirinya Resi Belahan. “Jika demikian, maka kita harus bersiap-siap untuk menyongsong Resi Belahan,“ berkata Glagah Putih. Ki Jayaraga menganguk-angguk. “Mudah-mudahan Resi Belahan benar-benar akan tertarik hatinya untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh.” Di sore hari ketika Agung Sedayu pulang dari barak, maka hal itu segera disampaikan oleh Ki Jayaraga. Bahkan dalam kesempatan itu Glagah Putih, Sabungsari, Sekar Mirah dan Rara Wulan ikut duduk bersama di ruang dalam. “Tadi Ki Lurah hampir saja ikut aku kemari,” berkata Agung Sedayu, “jika saja Ki Lurah benar-benar ikut, Ki Lurah akan dapat mendengarnya pula.” “Kenapa Kakek tidak jadi datang kemari?” bertanya Rara Wulan. “Nampaknya Ki Lurah ingin beristirahat,“ jawab Agung Sedayu. Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut keterangan orang yang kita temui di Kali Praga itu, mereka akan membawa kami ke tempat yang tidak akan diketahui, meskipun berada di Tanah Perdikan ini pula.” “Jika demikian maka kita harus melihat tempat-tempat yang dianggap terpencil dan tersembunyi di Tanah Perdikan ini,” sahut Agung Sedayu. “Hutan di Tanah Perdikan ini masih cukup luas,“ desis Glagah Putih, “bahkan sampai ke lereng-lereng pegunungan, membujur dari utara ke selatan. Kita akan memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan hal itu. Meskipun bukan berarti bahwa kita tidak dapat menjelajahi seluruh daerah ini. Kita dapat menyebar para pengawal dan mengamati lingkungan di sekitar padukuhan mereka masing-masing. Sudah tentu termasuk hutan di lereng pegunungan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak dapat melepaskan para pengawal itu tanpa petunjuk khusus. Jika mereka terjerumus ke dalam jerat orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di antara mereka, maka korban akan berjatuhan. Karena itu, maka mereka memerlukan bimbingan. Sementara sebelumnya kita harus lebih banyak mengetahui keadaan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan ini.” Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat dengan Agung Sedayu. Jika para pengawal itu, bahkan dengan Prastawa sekalipun, terjebak dalam persoalan dengan orang-orang berilmu tinggi, maka bencana akan terjadi atas mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu memang berniat memancing orang berilmu tinggi yang menyebut dirinya Resi Belahan itu ke lingkungan halaman rumahnya untuk membatsi persoalan, apalagi di rumah itu terdapat beberapa orang yang akan dapat melawannya. Namun Agung Sedayu masih juga berpesan, agar mereka tetap berhati-hati. “Orang yang kita temui di Kali Praga dan yang telah membawa kalian ke pategalan itu tentu tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Meskipun mungkin ia tidak lagi berharap akan dapat membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan, namun dendam mereka-lah yang mungkin akan dapat menyala semakain besar. Mudah-mudahan benar seperti yang kita harapkan, orang itu datang dan bahkan membawa serta Resi Belahan kemari. Tetapi jangan justru kita yang terjebak oleh rencana kita sendiri, karena kita kurang berhati-hati.” Dengan demikian, terutama Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka menjadi semakin jarang pergi ke pasar. Meskipun demikian, mereka bukan sepenuhnya mengurung diri dalam rumahnya. Mereka memang berharap bahwa keduanya diketahui tempat tinggalnya. Dari hari kehari mereka menunggu perkembangan keadaan. Tetapi ternyata untuk beberapa lama, mereka tidak lagi bertemu dengan orang yang mereka temui di Kali Praga dengan pakaian bagus yang terbuat dari bahan yang mahal itu, yang telah membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan ke pategalan, meskipun orang itu justru harus mengalami kekalahan. Yang terjadi justru tidak terduga. Seperti petir yang menyambar saat matahari cerah, Wacana-lah yang justru datang ke Tanah Perdikan Menoreh. “Aku datang dengan sikap laki-laki,“ katanya setelah ia dipersilahkan duduk. “Apa yang sebenarnya telah terjadi?“ bertanya Agung Sedayu yang baru saja pulang dari barak. “Aku ingin berbicara langsung dengan Sabungsari,“ berkata Wacana kemudian. “Kenapa dengan Sabungsari?” bertanya Agung Sedayu. “Ada persoalan yang sangat penting yang harus aku bicarakan dengan orang itu,” jawab Wacana dengan nada berat. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun nampaknya Wacana benar-benar ingin berbicara dengan Sabungsari langsung. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah memanggil Sabungsari untuk menemui Wacana di pendapa. Hadir juga bersama Sabungsari, Glagah Putih, dan bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. “Aku bukan orang yang senang menyimpan persoalan,“ berkata Wacana dengan tegas. Orang-orang yang menemuinya memang agak heran. Wacana seakan-akan telah berubah. Ia bukan lagi Wacana yang mereka temui di rumah Ki Rangga Wibawa dan Wacana yang telah mengantar Raden Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lewat. “Katakanlah,” desis Sabungsari meskipun dengan ragu. “Aku memang tidak ingin berbicara hanya berdua saja. Biarlah orang lain menjadi saksi pembicaraan kita,“ berkata Wacana kemudian. Sabungsari menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan Wacana. Tetapi karena Wacana sepupu Raras, serta ia tinggal untuk sementara di rumah Raras, apalagi Wacana adalah sahabat Raden Teja Prabawa, maka Sabungsari memang mengarahkan dugaannya bahwa persoalannya tentu berhubungan dengan Raras. Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya, “Apakah kalian ingin berbicara berdua saja?” “Justru tidak,“ jawab Wacana. “Jika demikian, katakanlah.” Wajah Wacana menegang sesaat. Namun kemudian ia berusaha untuk dapat berbicara dengan wajar dan jelas. Katanya, “Sabungsari. Kau tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang selama ini dikenal berhubungan akrab dengan Raden Teja Prabawa, kakak Rara Wulan ini.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata benar. Arah pembicaraan Wacana terkait dengan persoalan Raras. Tetapi persoalan apa yang telah membuat Wacana bicara dengan bersungguh-sungguh, masih belum diketahui. Ia sendiri selalu berusaha menyembunyikan perasaannya, sehingga mereka merasa bahwa ia belum pernah hadir di antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Apalagi iapun telah berkeras untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjahui gadis itu. Betapapun ragunya, Sabungsari pun kemudian menjawab, “Ya. Aku mengerti.” “Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melibatkan diri menjadi orang ketiga dalam hubungan di antara mereka,“ berkata Wacana kemudian. Sabungsari mengerutkan dahinya. Dengan darah rendah ia bertanya, “Kenapa kau berkata demikian Wacana? Apakah kau pernah melihat atau mendengar bahwa aku pernah menengahi hubungan mereka, atau bahkan melibatkan diri sebagai orang ketiga? Kau tahu bahwa aku masih belum begitu mengenal Raras. Demikian pula Raras. Aku jarang, atau katakan hanya datang ke rumah Raras dua atau tiga kali, bersama-sama dengan beberapa orang untuk menengok dan kemudian minta diri. Sebagaimana kau ketahui, aku sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bagaimana kau dapat mempersoalkan aku dalam hubungannya antara Raras dan Raden Teja Prabawa.” “Kau tidak usah ingkar Sabungsari. Bahkan seandainya apa yang kau katakan itu benar, itu agaknya memang lebih baik. Tetapi aku minta kau berjanji bahwa kau tidak akan bertemu dengan Raras lagi.” Wajah Sabungsari memang menjadi merah. Bukan karena dia tidak ingin melupakan Raras, karena hal itu memang sudah diinginkannya. Tetapi justru karena permintaan Wacana yang seakan-akan mengancamnya itu, ia sama sekali tidak senang. Namun dalam pada itu bahwa Rara Wulan-lah yang bertanya, “Wacana. Apakah kau datang atas nama Kakangmas Teja Prabawa?” Wacana menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa pada suatu saat bahwa Rara Wulan akan dapat bertanya langsung kepada Raden Teja Prabawa. Karena itu, maka seperti apa yang dikatakannya bahwa ia datang sebagai seorang laki-laki, ia tidak ingin bersembunyi di balik nama siapapun juga. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku datang atas keinginanku sendiri. Aku berniat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan Sabungsari, justru karena aku dan Sabungsari mempunyai kepentingan yang sama. “ “Kepentingan yang sama yang mana?“ bertanya Sabungsari dengan serta merta. “Aku akan berterus terang,” berkata Wacana, “Raras menjadi sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa. Tidak ada orang yang berhasil menjelaskan persoalan yang sebenarnya tejadi atas Raden Teja Prabawa. Bahkan Raras telah menyatakan, terus terang atau tidak, bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan hubungannya dengan Raden Teja Prabawa. Apalagi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Ayah Raden Teja Prabawa belum pernah datang melamar gadis itu.” Wacana berhenti sejenak, lalu iapun justru bertanya kepada Rara Wulan, “Bukankah begitu? Bukankah hubungan mereka baru terbatas dalam hubungan persahabatan, meskipun memang menjurus kepada hubungan yang lebih khusus lagi? Katakanlah bahwa mereka agaknya mulai menjalin hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sebagai pasangan yang akan menempuh hidup bersama. Mereka mulai merasa, sekali lagi, mereka baru mulai, seakan-akan mereka saling jatuh cinta.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang demikian. Keduanya baru mulai mengadakan pendekatan. Meskipun demikian Teja Prabawa benar-benar telah mencintai gadis yang bernama Raras itu. Sementara itu Wacana pun berkata selanjutnya, “Tetapi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Bukankah begitu?” Rara Wulan memang tidak dapat menjawab lain kecuali mengangguk mengiakan. “Ya,“ katanya, “Ayah memang belum pernah melamarnya.” “Nah, dalam keadaan demikian, sikap Raras menjadi goyah. Justru karena sikap Raden Teja Prabawa sendiri. Raras mulai menyadari, bahwa hubungan mereka, maksudku antara Raras dan Raden Teja Prabawa, tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya. Karena itu, maka Raras mulai bersikap bahwa ia harus mulai menjauhi Raden Teja Prabawa. Bukan orangnya, karena mereka berdua akan dapat tetap bersahabat. Tetapi persoalan khusus yang sebelumnya terasa mulai menjerat hati itu.” Rara Wulan tiba-tiba memotong, “Katakanlah, bahwa Raras tidak mencintai Kakangmas Teja Prabawa lagi.” “Ya,“ jawab Wacana. “Lalu apa hubungannya dengan Kakang Sabungsari?“ bertanya Rara Wulan. “Aku akan berterus terang. Raras sekarang berada di jalan simpang,“ jawab Wacana. “Jalan simpang yang mana?“ desak Rara Wulan. “Ada dua orang laki-laki yang mulai membayang di angan-angannya,“ jawab Wacana. “Maksudmu ada dua orang laki-laki yang mencintainya, atau Raras mulai mencintai dua orang sekaligus?“ bertanya Rara Wulan. “Apa bedanya?“ bertanya Wacana. “Tentu berbeda,“ jawab Rara Wulan, “jika ada dua orang laki-laki yang mencintainya, itu bukan salah Raras. Tetapi jika Raras mencintai dua orang laki-laki setelah ia melepaskan diri dari Kakangmas Teja Prabawa, itu berarti bahwa Raras bukan seorang gadis yang baik.” Wajah Wacana menegang sejenak. Namun ia benar-benar sudah bertekad untuk menyelesaikan persoalannya dengan Sabungsari dengan sikap seorang laki-laki. Karena itu maka jawabnya, “Sebaiknya jangan menjelekkan nama Raras. Katakanlah bahwa ada dua orang laki-laki yang mulai mencintainya,“ jawab Wacana. “Selain Kakangmas Teja Prabawa?“ bertanya Rara Wulan. Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab meskipun agak ragu, “Ya.” Tetapi kemudian dengan cepat ia berkata selanjutnya, “Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raras sendiri, bahwa ia tidak dapat lagi mengharapkan Raden Teja Prabawa untuk melindunginya di masa mendatang.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Dari sisi yang mana sebenarnya kau berangkat? Dari sisi Raras atau dari sisi laki-laki yang mencintainya?” Akhirnya Wacana tidak mau berbicara berputar-putar lagi. Katanya, “Aku tidak sempat memikirkannya. Tetapi yang penting, aku akan berbicara dengan Sabungsari. Kita tidak dapat bersama-sama hadir di hati Raras. Karena itu, salah seorang di antara kita harus menyingkir.” Meskipun sejak sebelumnya Glagah Putih sudah menduga bahwa Sabungsari menaruh perhatian terhadap Raras, tetapi orang lain tentu belum dapat menilainya demikian. Sabungsari tidak pernah berhubungan dengan Raras secara khusus. Bahkan Sabungsari dengan sengaja telah menjauhkan dirinya dari Raras, bahkan dari Mataram, sebagaimana tadi dikatakannya. Dalam pada itu Sabungsari pun merasa heran pula. Sedangkan yang lain bahkan terkejut karenanya, justru karena pengakuan Wacana. Hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kenapa kau menganggap Kakang Sabungsari terlibat dalam lingkaran hubungan dengan Raras? Sepengetahuanku, seperti dikatakan Kakang Sabungsari, ia belum begitu mengenal Raras, dan Raras pun belum begitu mengenalnya. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa Kakang Sabungsari tertarik kepada Raras? Dan bagaimana mungkin kau sendiri terlibat di dalamnya, jika yang dimaksudkan dua orang laki-laki itu kau dan Kakang Sabungsari? Bukankah kau sepupu Raras?” “Siapapun aku, aku tidak menghiraukannya,“ jawab Wacana. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia berusaha menengahi, “Aku mengerti sekarang. Ternyata Raras ingin menarik diri dari hubungannya yang khusus dengan Raden Teja Prabawa, meskipun mereka masih akan dapat tetap bersahabat. Kemudian Wacana, meskipun saudara sepupu Raras, telah jatuh cinta kepada Raras. Tetapi Wacana menduga bahwa Sabungsari pun ternyata mencintai Raras juga, sehingga Wacana minta agar Sabungsari menyingkir dari persoalan yang berhubungan dengan Raras.” “Ya,“ jawab Wacana tegas, “aku minta jawaban Sabungsari.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Sejak semula sudah aku katakan, Wacana. Aku tidak begitu mengenal Raras. Raras pun tidak begitu mengenal aku. Aku tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan Raras. Apalagi bagi masa depannya yang panjang itu. Aku orang asing bagi Raras, dan Raras orang asing bagiku.” Wacana mengerutkan dahinya. Dengan sorot mata yang tajam ia berkata, “Kau tidak usah berbelit-belit Sabungsari. Apapun yang kau katakan, tetapi bagiku kau adalah orang yang akan dapat menghalangi niatku untuk mendekati Raras. Bukan sebagai seorang kakak sepupu, tetapi sebagai seorang laki-laki. Raras bagiku bukan sekedar adik sepupu, tetapi aku memang mencintainya.” Sebelum Sabungsari menjawab, maka Rara Wulan telah mendahuluinya bertanya, “Bagaimana sikapmu terhadap Kakangmas Teja Prabawa? Bukankah justru kau orang ketiga yang berdiri di antara Kakangmas Teja Prabawa dengan Raras?” “Aku tidak merasa perlu untuk berbicara tentang Raden Teja Prabawa. Raden Teja Prabawa telah tersisih dari hati Raras. Dan itu sama sekali bukan salahku,“ jawab Wacana, yang kemudian sekali lagi berkata, “Aku ingin mendengar jawaban Sabungsari.” “Kau sudah tahu jawabku Wacana. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Raras,“ jawab Sabungsari. “Kenapa kau tidak bersikap jantan Sabungsari? Kenapa kau harus mengingkarinya? Apakah kau juga tidak berani bertanggung jawab, seperti Raden Teja Prabawa?” “Apa yang harus aku pertanggung-jawabkan Wacana? Aku justru ingin tahu, kenapa kau menuduhku menyaingimu dalam hubungan dengan Raras. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa aku berniat mendekati Raras, dan bahkan menggeser Raden Teja Prabawa yang sudah sejak lama berhubungan dengan Raras.” “Aku tidak mau mendengar kata-katamu selain sikapmu terhadap Raras. Kau harus berjanji sebagai seorang laki-laki bahwa kau tidak akan mendekati Raras lagi,“ berkata Wacana. “Wacana,“ akhirnya Sabungsari juga kehilangan kesabaran, “meskipun aku tidak tahu pasti apakah yang kau maksud, tetapi aku ingin memperingatkanmu, bahwa aku bukan pengecut. Kau tahu itu. Aku sudah dengan suka-rela turun ke susukan Kali Opak untuk membantu membebaskan Raras. Sebelumnya aku sudah menyatakan diri untuk ikut menghadapi Ki Manuhara sebelum Bajang Bertangan Baja itu datang. Persoalan yang melibatkan aku ke dalamnya bukan sekedar soal perempuan, tetapi persoalan yang lebih luas lagi tentang Mataram. Karena itu, maka aku tidak mau kau menyudutkan aku tanpa alasan, seakan-akan asal saja kau ingin mencari perkara. Jika kau ingin menantang aku, katakanlah, bahwa kau menantang aku. Dengan cara apa yang kau kehendaki. Tetapi kau tidak dapat memperlakukan aku seperti itu.” Wajah Wacana pun menjadi merah. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Sabungsari. Jika kau ingin aku berkata lebih terbuka, baiklah. Bahwa kau bagiku adalah penghalang utama, justru aku dengar langsung dari Raras. Raras sendiri mengatakan bahwa ia mulai tertarik kepada seorang laki-laki muda yang telah melindunginya di dekat susukan Kali Opak. Apalagi setelah itu kau dengan sengaja berkali-kali datang ke rumah Raras dengan alasan apapun juga. Dengan membawa perisai beberapa orang, agar kau dapat mengelakkan tuduhan bahwa kau sengaja memancing perhatian Raras.” Jantung Sabungsari terasa berdegup semakin keras. Darahnya seakan-akan menjadi panas memanasi urat-urat nadinya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang telah dibebaskannya itu justru menaruh perhatian yang demikian besar kepadanya. Namun dalam pada itu, Wacana berkata selanjutnya, “Tetapi kau jangan menjadi besar kepala, seolah-olah Raras benar-benar telah jatuh cinta kepadamu. Yang terjadi pada gadis yang baru menginjak dewasa itu adalah sekedar kekaguman karena kau telah dianggap mampu menolongnya, melindunginya dan bertanggung jawab atas keselamatannya. Tetapi perasaan itu pada saatnya akan larut dengan sendirinya, jika pandangannya mengenai kehidupan telah berkembang. Karena itu, kau harus berjanji bahwa kau tidak akan menemuinya lagi dimanapun juga. Juga seandainya Raras mencarimu ke Tanah Perdikan ini.” Tiba-tiba saja dada Sabungsari bergejolak seperti gejolaknya laut yang diaduk oleh angin pusaran. Gelombang yang menggelegar membentur dinding hatinya yang goncang karena pengakuan Raras. Sementara itu Agung Sedayu dan mereka yang mendengarkan pembicaraan itu justru bagaikan terbungkam. Mereka tidak segera dapat mencari jalan untuk menengahinya. Meskipun demikian, Agung Sedayu pun kemudian berusaha untuk menyela, “Jika demikian, sebaiknya persoalan ini kita bicarakan dengan hati yang dingin. Jika kita menghanyutkan diri pada arus perasaan kita masing-masing, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Bahkan mungkin akan bertambah rumit. Persoalan yang kalian hadapi akan menyangkut pihak ketiga, justru pihak yang menentukan, yaitu Raras. Bukankah sebaiknya kalian mendengarkan pendapat Raras?” “Aku tidak menganggap perlu,“ sahut Wacana, “yang penting bagiku adalah janji Sabungsari. Jika Sabungsari tidak lagi menemui Raras dengan alasan apapun juga, maka lambat laun kekaguman Raras akan menjadi luntur. Raras akan dapat berpikir lebih baik dan berdasarkan pertimbangan nalar. Bukan sekedar perasaan kagum yang berlebihan.” Agung Sedayu masih akan menyahut, tetapi Sabungsari-lah yang kemudian mendahuluinya, “Wacana. Jika demikian sikap Raras terhadapku, maka dengarlah jawabku. Aku tidak akan berkisar dari tempatku berdiri sekarang. Sebenarnya aku tidak begitu menghiraukan Raras. Tetapi sikapmu memaksa aku untuk tidak bergeser sejengkal pun. Aku tanggapi sikapmu sebagai seorang laki-laki dengan cara seorang laki-laki pula. Aku akan melayani apa saja yang kau maui dariku.” Wajah Wacana menjadi tegang. Namun ia melihat sinar memancar dari mata Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki maka Sabungsari benar-benar telah dibakar oleh tantangan Wacana. Dengan cepat Agung Sedayu mencoba untuk meredakan suasana. Katanya, “Apakah kita tidak dapat berbicara dengan cara yang lebih baik? Bukankah kita bukan kanak-kanak yang sedang berebut durian runtuh?” “Agung Sedayu,“ jawab Sabungsari, “aku sudah mencoba untuk menjelaskan bahwa aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Raras. Aku tidak tahu bagaimana sikap Raras terhadapku. Bahkan aku sekarang sudah berada di tempat yang jauh dari rumah Raras. Tetapi Wacana memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku sebagai seorang laki-laki.” “Aku mengerti,“ jawab Agung Sedayu, “aku harap Wacana pun dapat mengerti pula. Bukankah yang tersirat dari pernyataan Sabungsari itu sudah merupakan sebuah pernyataan, bahwa ia tidak akan melibatkan dirinya dengan kehidupan Raras?” “Itulah yang ingin aku dengar dari mulut Sabungsari,“ jawab Wacana. “Bukankah hal itu sudah dikatakannya, bahwa ia orang asing bagi Raras dan Raras adalah orang asing bagi Sabungsari?” “Tidak,“ tiba-tiba Sabungsari memotong, “aku cabut pernyataanku justru karena sikap Wacana. Jika aku menyingkir dan menyatakan janji itu kepada Wacana, maka aku akan dianggapnya sebagai seorang pengecut. Apalagi Raras sendiri sudah mengatakan bahwa ia mengagumi aku, dan sudah tentu tertarik kepadaku. Karena itu, maka aku tidak akan menghindar dan mengingkari sikap seorang laki-laki. Jika benar Raras tertarik kepadaku dengan alasan apapun juga, maka aku akan menyambutnya dan menghormati sikapnya, apapun akibatnya.” “Bagus,“ jawab Wacana, “jika demikian, kita akan menentukan siapa yang akan minggir dari persoalan ini.” “Aku akan melayanimu, cara apapun yang kau kehendaki.” “Kita selesaikan persoalan kita di arena perang tanding. Siapa yang kalah, harus mengakui kekalahannya dengan jantan, dan untuk seterusnya akan memegang janji untuk tidak berhubungan lagi dengan Raras dengan alasan apapun juga,“ jawab Wacana. “Bagus,“ jawab Sabungsari, “aku akan menerima tantanganmu ini. Bahkan aku menjadi tidak sabar lagi, kapan perang tanding yang kau maksudkan itu akan dilaksanakan.” “Kau yang menentukan,“ jawab Wacana, “kau pula yang akan menunjuk saksi yang adil. Bahkan seandainya tidak ada orang yang dapat dianggap adil, siapapun dapat kau tunjuk sebagai saksi, karena kita masing-masing pasti akan mengakui di dalam hati kita, siapakah sebenarnya yang menang di antara kita.” “Aku tidak memerlukan saksi,“ jawab Sabungsari, “jika kau merasa perlu, carilah sendiri. Aku setuju dengan pendapatmu, kita akan tahu pasti siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perang tanding itu.” “Tidak Sabungsari,“ Agung Sedayu-lah yang menyahut, “kalian memerlukan saksi. Sebenarnya aku condong untuk mencari jalan keluar yang lebih baik dari perang tanding. Apakah lambang kejantanan seseorang itu hanya dapat dilihat dengan kekerasan? Apakah dengan kekerasan kalian cukup menghargai sikap dan perasaan Raras?” “Sejak semula aku tidak mengetahui perasaan Raras yang sebenarnya. Wacana telah datang dengan sikap dan caranya yang tidak aku sukai. Karena itu, maka aku memang berniat untuk berperang tanding,“ jawab Sabungsari, yang nampaknya telah mengeraskan hatinya. Ia benar-benar tersinggung oleh sikap Wacana, sehingga tidak ada lagi jalan kembali dari keputusannya itu. Sementara itu Wacana pun telah membulatkan tekadnya pula. Ia harus menyingkirkan Sabungsari dengan cara yang telah dipilihnya. Ia berharap Sabungsari bersikap ksatria, sehingga ia akan memegang janjinya jika ia memang dapat dikalahkannya. Karena itu, maka niat untuk berperang tanding itu tidak dapat diurungkan lagi. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu hanyalah berusaha untuk menegakkan sifat ksatria kedua anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan itu. “Aku akan menjadi saksi bersama Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. Ternyata baik Wacana maupun Sabungsari tidak ingin menunda penyelesaian yang telah mereka pilih. Mereka sepakat untuk membuat penyelesaian, besok saat fajar menyingsing. Demikianlah, maka malam itu Wacana bermalam di rumah Agung Sedayu. Anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang akan terjadi besok. Demikian ia selesai makan malam, maka iapun telah memasuki bilik yang disediakan baginya, di ujung gandok sebelah kanan. Beberapa saat kemudian, sudah terdengar nafasnya mengalir dengan tenang dan teratur. Ternyata Wacana itu sudah tertidur nyenyak. Dengan demikian, maka baik Agung Sedayu maupun Ki Jayaraga menganggap bahwa Wacana terlalu yakin akan dirinya. Perang tanding itu dianggapnya sebagai permainan saja, tanpa harus direnunginya dan apalagi dipikirkannya berulang kali. Di bilik yang lain, Sabungsari duduk bersama Glagah Putih yang lebih muda daripadanya. Dengan nada rendah Sabungsari berkata, “Aku sama sekali tidak mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Glagah Putih dapat mengerti sepenuhnya sikap Sabungsari. Bahkan Glagah Putih sendiri merasa bahwa ia tidak akan dapat mengekang perasaannya, seandainya ia yang mengalami perlakuan sebagaimana dialami Sabungsari. Meskipun demikian, justru karena Glagah Putih tidak mengalami, ia dapat mengambil jarak dari persoalan yang dihadapi Sabungsari itu. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa mengambil sikap Kakang?” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hampir saja menjadi mata gelap. Aku sudah berjuang sejauh dapat aku lakukan untuk menahan diri. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan Raras. Bahkan aku benar-benar ingin menjauh daripadanya, meskipun aku tidak ingkar bahwa aku memang tertarik kepadanya. Tetapi sikap Wacana sangat menyakitkan hati.” “Aku mengerti,“ Glagah Putih mengangguk-angguk, “tetapi jika aku boleh mengetahuinya, justru setelah Wacana datang kepadamu dengan sikapnya yang menyinggung perasaanmu, apakah kau akan mendekati Raras atau justru akan menjauhinya? Tanpa menghiraukan kesudahan dari perang tanding yang akan kau lakukan esok pagi.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku masih memikirkan Teja Prabawa. Aku justru menjadi curiga, mungkin Wacana dengan sengaja mempengaruhi Raras untuk menjauhi Raden Teja Prabawa, karena Wacana sendiri menginginkannya meskipun ia saudara sepupu Raras.” “Apakah kau akan tetap menghindari Raras?“ bertanya Glagah Putih. Sabungsari tidak segera menjawab. Dengan sayu Sabungsari menatap lampu minyak yang berkeredipan ditiup angin yang menyusup di sela-sela dinding. “Glagah Putih,“ berkata Sabungsari kemudian, “seperti aku katakan tadi, aku masih memperhitungkan Raden Teja Prabawa. Aku tidak mau menjadi penghalang hubungan antara keduanya. Kecuali jika Raras benar-benar tidak dapat lagi diharapkan untuk kembali kepada anak muda itu.” “Seandainya Raras masih dapat diharapkan untuk kembali kepada Raden Teja Prabawa, bagaimana dengan engkau sendiri?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Aku tidak menyesali diriku sendiri. Aku akan merasa berbahagia jika keduanya dapat bersatu kembali dalam arti yang dalam. Bukan karena tekanan dari orang tua yang manapun juga,“ desis Sabungsari. Namun terdengar suaranya bergetar tertahan-tahan. “Kau sudah mempertaruhkan jiwamu untuk membebaskannya. Apakah kau masih harus berkorban lagi?“ bertanya Glagah Putih. “Apakah ketika aku ikut membebaskannya, terbersit pikiran bahwa akan timbul persoalan seperti ini? Aku membantumu membebaskan Raras, karena aku tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang akan menjadi sisihan Raden Teja Prabawa. Bukankah karena itu, maka kita semuanya berusaha untuk membebaskannya? Atau kita harus menyerahkan Rara Wulan? Seandainya kita tidak memikirkan untuk mengembalikan Raras kepada Raden Teja Prabawa, mungkin kita condong untuk sekedar menyembunyikan atau melindungi Rara Wulan, sementara persoalan Raras kita percayakan kepada Ki Wirayuda. Adalah memang menjadi tugasnya, atau katakanlah tugas para prajurit Mataram, untuk melindungi rakyatnya. Tetapi kita tidak mau menyerahkan Rara Wulan dan tidak mau membiarkan Raras hilang untuk seterusnya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, “Kau benar Sabungsari. Tetapi kita saat itu lebih condong membebaskan Raras sebagai satu laku untuk menegakkan kemanusiaan dan paugeran. Meskipun demikian, bahwa persoalan Raras menyangkut kita, adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan erat dengan Raden Teja Prabawa. Sementara itu Raden Teja Prabawa adalah kakak Rara Wulan. Sedangkan yang dikehendaki oleh Raden Antal sebenarnya adalah Rara Wulan.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Bukan maksudku mengingkari laku kemanusiaan sebagai alasan utama dari langkah kita. Tetapi bagaimanapun juga, kaitannya adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan khusus dengan Raden Teja Prabawa.” Glagah Putih yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Jadi kau memang berniat untuk memberikan pengorbanan ganda?” “Bukan maksudku untuk menjadi pahlawan, atau katakanlah agar aku dianggap sebagai seorang yang luhur budi dan pantas untuk mendapat pujian setinggi bintang. Tetapi sebenarnyalah nuraniku berkata demikian.” “Jika ternyata Raras dan Raden Teja Prabawa sudah tidak dapat bertaut kembali?“ desak Glagah Putih. “Terserah kepada Raras,“ jawab Sabungsari. “Dan arti dari perang tanding esok?” “Bagiku tidak ada hubungannya langsung dengan Raras. Aku menerima tantangan itu karena hatiku terbakar oleh sikap Wacana, yang bagiku sangat menyinggung perasaanku,“ jawab Sabungsari. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia merasa lebih muda, tetapi dipaksanya bibirnya berkata seakan-akan menasehati, “Tetapi kau harus mampu menahan diri Kakang. Apalagi setelah semua jalur ilmumu terbuka, demikian pula saluran tenaga dalammu.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berkata, “Aku tidak tahu apakah ilmuku mampu mengimbangi ilmu Wacana, yang nampaknya begitu yakin akan kemampuan diri. Ia tentu seorang yang berilmu sangat tinggi meskipun ia juga masih terhitung muda.” Glagah Putih hanya dapat mengangguk kecil. Ia juga tidak tahu, seberapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh Wacana. Namun ia sependapat bahwa menilik sikap dan keyakinan dirinya, Wacana agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi. Sambil bangkit Glagah Putih pun kemudian berkata, ”Baiklah. Sekarang sebaiknya kau beristirahat. Wacana telah tertidur nyenyak di dalam biliknya. Kau perlukan tenagamu besok, sehingga kau harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.” Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Katanya dengan nada dalam, “Mudah-mudahan kau tidak usah mengalami persoalan seperti ini. Persoalan yang sama sekali tidak aku harapkan. Justru terjadi pada diriku.” Glagah Putih pun kemudian meninggalkan bilik Sabungsari. Di luar udara malam terasa dingin. Angin bertiup lembut mengusap wajah Glagah Putih. Di luar kehendaknya, maka Glagah Putih pun berjalan lewat halaman samping menuju ke halaman belakang. Malam menjadi semakin kelam. Bintang-bintang nampak bergayutan di langit yang kehitam-hitaman. Namun telinga Glagah Putih yang tajam tiba-tiba saja mendengar sesuatu. Langkah lembut di kebun belakang. Gemerisik dedaunan kering yang terinjak kaki telah menimbulkan suara yang halus. “Tentu langkah seseorang yang sangat berhati-hati,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Justru karena itu, maka Glagah Putih bergeser selangkah dengan sangat berhati-hati pula. Kemudian iapun telah berjongkok di bawah sebatang pohon perdu yang rimbun. Tetapi Glagah Putih lupa bahwa beberapa ekor ayam yang dipelihara anak yang tinggal di rumah itu tidur di atas cabang-cabang batang perdu itu, sehingga karena itu maka ayam-ayam itu telah terbangun. Meskipun ayam-ayam itu tidak terkejut dan tidak berkotek keras-keras karena Glagah Putih bergerak dengan sangat berhati-hati, namun beberapa ekor di antaranya bergeser menjauhinya. Ternyata suara ayam yang bergeser itu telah mengejutkan seseorang yang langkahnya telah didengar oleh Glagah Putih. Yang kemudian terjadi adalah orang itu berlari dengan tangkasnya dan meloncati dinding halaman. Glagah Putih memang mencoba untuk mengejarnya. Iapun meloncat ke atas dinding dan hinggap seperti seekor burung yang hinggap di atas cabang pepohonan. Namun Glagah Putih tidak melihat sesuatu. Ia tidak melihat seseorang berlari. Iapun tidak melihat dedaunan yang bergoyang tersentuh tubuh orang yang berlari itu. Ia juga tidak mendengar derap kakinya. Glagah Putih memang tidak mendengar dan tidak melihat sesuatu. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar suara berdesing. Ilmunya yang mapan segera mengisyaratkan kepadanya, bahwa bahaya tengah menyambarnya dari kegelapan di belakang dinding halaman rumah Agung Sedayu. Dengan gerak naluriah maka Glagah Putih telah meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Ternyata sebuah lingkaran besi baja yang bergerigi hampir saja mengoyak kulitnya. Dengan cepat Glagah Putih meloncat keluar dinding. Namun ia mendengar derap langkah orang berlari yang sudah menjadi semakin jauh. Glagah Putih tidak mengejarnya. Ia justru kembali meloncat ke atas dinding. Ketika dengan saksama ia memperhatikan cabang pohon yang tumbuh di kebun di belakang ia berdiri, maka dalam kegelapan malam ia melihat lingkaran baja yang bergerigi itu tertancap dalam-dalam. Dengan hati-hati ia meraba benda yang bergerigi tajam itu dan dengan kuat ia menghentakkannya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi berdebar-debar. Jika saja gerigi itu tertancap di dadanya. Glagah Putih kemudian meloncat turun sambil membawa gerigi besi itu. Ia ingin memberitahukan hal itu kepada Agung Sedayu. Meskipun seandainya kakak sepupunya itu sudah tertidur, maka ia akan membangunkannya. “Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ berkata Glagah Putih, yang segera menghubungkan serangan itu dengan sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang disebut Resi Belahan itu. Glagah Putih pun kemudian kembali masuk ke dalam rumahnya lewat pintu yang masih belum diselarak. Pintu darimana ia keluar tadi. Ternyata Agung Sedayu masih belum tidur. Ia masih mendengar suaranya perlahan-lahan dari dalam biliknya. Semula Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian memaksa diri untuk memanggil kakak sepupunya itu, karena ia menganggap peristiwa itu penting untuk segera diketahui oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu memang keluar dari biliknya bersama Sekar Mirah, sambil bertanya, “Ada apa Glagah Putih?” bersambung

api di bukit menoreh 290